TEMPO Interaktif, Berhenti mengisap tembakau memang tidak mudah. Dari sejumlah perokok yang mencoba, diketahui banyak yang gagal. Itu bukan karena perokok tidak mau "pensiun" dini, melainkan jeratan nikotin membuat mereka dimabuk kepayang. Namun sebenarnya mereka sadar akan ancaman kanker, serangan jantung, impotensi, ataupun gangguan kehamilan.
Salah satu pemenang program berhenti merokok "Quitters Are Champions"--yang diadakan Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Umum Persahabatan dan Pfizer -- Henny Gunawan, merasakan adiksi akut terhadap rokok yang begitu kuat. Ibu tiga anak ini sebetulnya sudah lama tidak bisa menikmati tembakau lagi. "Namun saya tidak berdaya melepasnya," ujar Henny di Jakarta pekan lalu.
Henny, 46 tahun, telah 30 tahun merokok. Dalam sehari, rata-rata ia menghabiskan 20 batang rokok. Jenis rokok yang dia isap berganti-ganti mereknya. Tapi kini Henny sukses melepas kecanduannya itu. Ia berhasil melewati tiga bulan tanpa tembakau. Selama itu ia dibimbing oleh spesialis paru dan spesialis kejiwaan. "Saya minum obat nonnikotin dua kali sehari," ujar perempuan yang juga bersuamikan perokok ini.
Menurut spesialis kedokteran jiwa Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Dr Tribowo T. Ginting, SpKJ--yang membimbing Henny--pada pekan pertama pelaksanaan program itu didapati banyak keluhan karena peserta menghadapi gejala putus nikotin. Ada dampak kejiwaan yang muncul, seperti konsentrasi menurun, letih, dan masalah tidur.
Namun, kata Tribowo, efek tersebut biasanya hilang dalam jangka waktu satu-dua pekan. "Itu mekanisme adaptasi tubuh saja," ujar Tribowo dalam diskusi rokok di Jakarta beberapa waktu lalu.
Memang, mendadak lepas dari rokok, menurut Tribowo, masih akan memunculkan sugesti pada si perokok. Terkadang sugesti itu ada saat mantan perokok melihat rokok atau asbaknya. Apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak kondusif, dalam arti banyak perokok. "Hal itu bisa membangkitkan memori rokok." Selain itu, secara psikologis Tribowo melihat perokok tersebut merasa rendah diri kalau tidak merokok.
Sugesti seperti ini biasanya bertahan cukup lama. Untuk menguburnya, butuh terapi obat nonnikotin yang dikombinasikan dengan konseling. Secara spesifik, obat nonnikotin itu bekerja pada reseptor nikotin yang ada di otak. Obat ini diindikasikan menurunkan gejala craving alias ketagihan dan withdrawa atau putus zat. "Termasuk mengurangi pleasure dari merokok," Tribowo menjelaskan.
Untuk menumbuhkan kepercayaan diri, Tribowo menekankan nilai positif dari berhenti merokok kepada peserta. Itu adalah pengalihan pikiran agar mereka sadar bahwa kebiasaannya bisa merusak kesehatan. Di luar itu, yang juga penting adalah dukungan orang sekitar. Paling tidak, mereka bisa membantu dengan menyingkirkan sesuatu yang berbau rokok, seperti asbak, poster atau korek gas rokok.
Tapi harus diingat bahwa seorang pendukung tidak boleh menghakimi orang yang mau tobat dari sakau tembakau itu. Jika bertindak sebaliknya, menurut Tribowo, malah membuat niat berhenti merokok jadi gagal.
Program "Quitters Are Champions" diadakan pada September-November 2009. Dari 210 pendaftar, 23 orang terpilih mengikuti program ini. Dan pada akhirnya 18 orang di antaranya berhasil berhenti merokok. Ini tentu masih sangat sedikit dibanding jumlah perokok aktif di Jakarta yang mencapai 3 juta orang atau 35 persen dari jumlah penduduknya yang mencapai lebih dari 9 juta jiwa.
Di klinik berhenti merokok RSUP Persahabatan, tempat penyelenggaraan program ini, rata-rata pasiennya adalah pria. Rasionya sekitar tiga banding satu dengan perempuan. Klinik ini memakai metode berhenti total dan metode bertahap. Sejauh ini, menurut Tribowo, yang efektif adalah metode langsung berhenti total. "Banyak peserta program 'quitter' berhasil menggunakan (metode) ini," ujar Tribowo. Pasien paling tua di klinik ini berusia 50-an tahun, sedangkan paling muda berusia 20-an tahun.
Dalam kesempatan yang sama, Dr Agus Dwi Susanto, SpP, spesialis paru yang juga Wakil Ketua Klinik Berhenti Merokok RSUP Persahabatan, mengatakan studi program ini membuktikan bahwa kebiasaan merokok bisa dihilangkan dengan terapi medis. Meski, studi itu menunjukkan bahwa dari 70 persen orang yang berniat berhenti merokok, cuma 5-10 persen yang dapat melakukannya tanpa bantuan.
Contoh lain yang sukses berhenti merokok dalam program ini adalah Yadi Mulyadi. Pria 25 tahun ini adalah tipe perokok hiperaktif. Ia bisa menghabiskan tiga bungkus rokok per hari. Ironisnya, Yadi adalah seorang perawat. Keberhasilannya ini ia persembahkan untuk istrinya. "Tanpa rokok, hidup terasa lebih nyaman," ucapnya.
Ketika Perokok Berhenti Merokok
- Dua puluh menit setelah berhenti. Denyut jantung dan tekanan darah menurun.
- Dua belas jam setelah berhenti. Tingkat karbonmonoksida dalam darah turun menjadi normal.
- Dua pekan sampai tiga bulan setelah berhenti. Ada peningkatan sirkulasi dan fungsi paru-paru meningkat.
- Satu sampai sembilan bulan setelah berhenti. Batuk dan sesak napas menurun. Cilia--rambut-rambut halus bergerak yang menyapu lendir keluar dari paru-paru--kembali berfungsi normal. Kemampuan cilia meningkat, paru-paru menjadi bersih dan risiko infeksi berkurang.
- Satu tahun setelah berhenti. Risiko penyakit jantung koroner berkurang menjadi setengah ketimbang perokok aktif.
- Lima tahun setelah berhenti. Risiko stroke tereduksi 5-10 tahun setelah berhenti.
- Sepuluh tahun setelah berhenti. Risiko kanker paru-paru, mulut, tenggorokan, kandung kemih, leher rahim, dan pankreas, jadi menurun.
American Cancer Society | HERU TRIYONO
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/12/21/brk,20091221-214780,id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.