JANGAN salah sangka, penyakit jantung koroner bukanlah penyakit masa kini. Sekelompok tim peneliti Inggris Januari lalu melaporkan temuannya di jurnal kedokteran terkemuka, Lancet: penyakit itu pun telah ada pada zaman Mesir kuno.
Pada sesosok mumi yang berumur lebih dari 3.500 tahun, mereka menemukan beberapa jejak penyakit jantung koroner, antara lain pengapuran (aterosklerosis) pada pembuluh darah. Memang tak jelas apakah sang mumi-tentu datang dari kalangan bangsawan-di masa hidupnya menganut gaya hidup modern, misalnya sedikit gerak, stres tinggi, dan makanan berlimpah lemak. Yang jelas, para ahli telah sepakat bahwa gaya hidup modernlah yang membuat jantung tak lagi tokcer, dan rawan penyakit.
Sejalan dengan makin besarnya penganut gaya hidup modern, penyakit jantung koroner kini menjadi momok kesehatan yang utama. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, 7,2 juta jiwa di seluruh dunia melayang setiap tahun akibat penyakit sepanjang zaman itu. Meskipun tak ada data rinci, Departemen Kesehatan memastikan bahwa penyakit jantung juga merupakan penyebab kematian utama di Indonesia.
Menyimak laju agresif penyakit jantung, agaknya tak ada cara yang lebih ampuh daripada upaya pencegahan. Hal itu diingatkan kembali dalam peringatan Hari Jantung Se-dunia, yang diperingati setiap 30 September. Resep menjaga kesehatan jantung itu sendiri sebenarnya klasik: giat berolahraga, mengendalikan stres, menyingkirkan rokok, dan menjaga menu seimbang.
Kali ini, Yayasan Jantung Indonesia memberi tekanan yang lebih penting pada soal menjaga menu seimbang. Menjaga menu seimbang, menurut Harmani Kalim, dokter ahli jantung Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, jauh lebih berguna ketimbang mengonsumsi suplemen makanan, semahal apa pun. Memang, sekarang ini perusahaan farmasi membanjiri pasar dengan ratusan suplemen makanan untuk jantung, misalnya penurun kolesterol, penurun tekanan darah, dan pelancar sirkulasi darah.
Tak hanya itu, makanan tradisional seperti jamur kombu pun turut meramaikan pasar. Masalahnya, seperti apa sebetulnya menu seimbang bagi penderita jantung, terutama yang pas buat orang Indonesia? Jawaban yang mendetail memang belum tersedia karena panduan nutrisi umumnya berdasar kondisi masyarakat Barat. Padahal orang Barat lebih banyak menyantap lemak dan protein hewani, yang kalorinya pas bagi iklim, aktivitas, dan postur tubuh mereka.
Nah, bila orang Indonesia sekadar mengekor pola konsumsi masyarakat Barat, yang terjadi justru penumpukan lemak yang tak diperlukan tubuh. Akibatnya, kadar kolesterol meningkat, dinding pembuluh darah menebal, dan muncul aterosklerosis yang rawan terhadap penyakit jantung koroner. Untuk itulah, "Kita butuh panduan pola makan ideal yang khas Indonesia," kata Harmani.
Yayasan Jantung Indonesia pun sadar akan perlunya panduan nutrisi khas negeri ini. Menurut Sekretaris Jenderal Yayasan Jantung Indonesia, Masino, panduan itu kini tengah dirancang oleh sebuah tim yang terdiri dari ahli kardiologi dan pakar gizi. Dalam panduan ini, para ahli akan mengukur kadar gizi beragam makanan khas Indonesia, seperti tahu, tempe, oncom, dan emping.
Namun, lepas dari pola makan, pembuluh darah memang menebal seiring bertambahnya usia. Setiap tahun, pembuluh darah menebal tiga persen saat kita memasuki usia 20 tahun. Karena itu, Harmani menyarankan check-up rutin agar laju penebalan pembuluh darah bisa dihambat, baik melalui diet ketat maupun dengan obat-obatan. Langkah ini terutama berguna bagi mereka yang berusia di atas 45 tahun, yang irama metabolismenya sudah mulai mengendur.
Suara senada muncul dari Winarto, ahli tanaman obat yang mengelola Klinik Herbal Karyasari, Jakarta. "Jantung orang berusia di atas 45 tahun butuh perhatian yang lebih khusus," katanya. Caranya cukup gampang, makanlah (seperti lalapan) tiga lembar daun dewa (Gynura segetum) setiap sore. Tanaman yang sepintas seperti semak liar ini dikenal berkhasiat sebagai antipenggumpalan darah dan melancarkan sirkulasi darah. Dengan daun dewa, menurut Winarto, timbunan lemak pada dinding pembuluh darah akan tergusur dan darah kembali mengalir lancar.
Tapi, sekali lagi, tanaman obat saja tak berguna bagi jantung bila si pengguna mengabaikan gaya hidup sehat. Resep klasik rajin berolahraga, makan dengan menu seimbang, dan pintar mengendalikan stres tetap berlaku. Mardiyah Chamim
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/10/01/KSH/mbm.20011001.KSH83864.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.