Penulis : Ikarowina Tarigan
KOMUNIKASI yang baik antara dokter dan pasien bisa meminimalkan potensi diagnosis yang kurang akurat. Akan tetapi, kurangnya budaya mengeluh pada pasien dan terbatasnya waktu berdiskusi dengan dokter sering kali memicu kecurigaan adanya malapraktik, penyimpangan dalam kegiatan praktik dokter.
Survei pelayanan dokter yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan melibatkan 700 pasien yang tersebar di 4 kota di Indonesia (Medan, Mataram, Yogyakarta, Jakarta) menemukan, sekitar 42% pasien menganggap waktu yang disediakan untuk berkonsultasi dengan dokter terlalu sedikit.
Selain itu, survei yang dilakukan dari Agustus hingga November 2009 ini menemukan bahwa 30,5% pasien mengaku pernah meragukan diagnosis dokter.
Hal ini, terang Ketua YLKI Huzna Zahir, bisa dikurangi dengan memperbaiki komunikasi antara dokter dan pasien. Pasien sebagai konsumen, tidak perlu takut bertanya."Kita sebagai pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, beranilah bertanya," tutur Huzna dalam seminar awam yang mengangkat tema Bagaimana Berobat Secara Pintar di Jakarta, Selasa (1/12).
Di sisi lain, lanjut Huzna, dokter juga harus lebih proaktif dalam memberikan penjelasan pada pasien. Meskipun pasien tidak bertanya, adalah kewajiban dokter untuk menjelaskan mengenai kondisi penyakit, manfaat setiap jenis obat yang diberikan, serta risiko yang mungkin muncul terhadap pasien.
Jumlah dokter yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien, terang Huzna, membuat mereka lebih mudah diorganisasi. "Akan lebih mudah memperbaiki komunikasi dan mengedukasi dokter jika dibandingkan dengan pasien." Setelah memberikan penjelasan, tambah Huzna, dokter harus memastikan bahwa pasien benar-benar paham atau tidak.
Pentingnya komunikasi dalam mencegah malapraktik ini juga dibenarkan oleh Kepala Biro Hukum dan Organisasi Setjen Depkes RI Prof dr Budi Sampurna. Kalau pasien mengalami sesuatu, jelas dia, segeralah bertanya kepada dokter atau cari tahu pendapat kedua. Turut aktifnya pasien bisa mengurangi kejadian malapraktek. "Bertanyalah, speak up," tegas Budi.
Hal senada dikatakan dr Sukamto Koesno SpPD dari Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM/FKUI).
Komunikasi, menurut dia, akan berjalan baik jika tidak ada kecurigaan. "Dalam komunikasi harus ada kerja sama antara dokter dan pasien."
Pengaduan pasien
Jika pasien merasa belum mendapatkan pelayanan terbaik, terang Budi, pasien berhak mengadu. Idealnya, menurut dia, keluhan pertama disampaikan kepada lembaga atau rumah sakit yang memberikan pelayanan. "Hal ini untuk mendapatkan respons tercepat." Kalau tidak memuaskan, lanjut dia, pasien bisa mengadu ke dinas kesehatan setempat atau lembaga perlindungan konsumen yang bergerak di bidang kesehatan.
Huzna juga menyampaikan hal yang senada. Jika berkaitan dengan ganti rugi, tambah dia, pasien bisa mengadu ke lembaga bantuan hukum atau lembaga bantuan konsumen.
Akan tetapi, jika merasa kurang puas dengan dokternya, terang dia lagi, pasien bisa menyampaikan keluhan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). "Lembaga ini bisa mencari tahu apakah dokter telah melakukan prosedur yang tepat atau tidak." (*/S-3)
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/12/12/1902/2/Komunikasi_Cegah_Diagnosis_Kurang_Tepat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.