Kamis, 24 Desember 2009

Tantangan Dalam Pengendalian Tuberkulosis

Indonesia adalah Negara dengan burden disease ketiga di dunia dalam hal tuberkulosis. Setiap tahun diperkirakan timbul lebih dari setengah juta kasus baru, dan terutama menimpa usia produktif. Oleh karena itu, pengendalian yang efektif perlu terus dilakukan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Karena vaksin yang efektif belum tersedia, maka pengendalian TB masih bertumpu pada pengobatan yang bermutu tinggi serta strategi pengobatan yang benar.



Program yang sekarang berjalan yaitu DOTS (Directly Observed Short Course Treatment) telah terbukti sebagai strategi yang baik dalam mencapai pengendalian optimum. Meski demikian, perlu juga disadari bahwa implementasi program ini memiliki risiko, yaitu terjadi seleksi terhadap kuman-kuman yang resisten. Kuman mono, poli, multi (MDR) dan super resisten (XDR) merupakan masalah yang harus diantisipasi dan diminimalisasi. Untuk itu diperlukan dua strategi dasar yaitu: (1)pendekatan program dengan strategi DOTS dimana pengobatan dilaksanakan berdasarkan terapi empirik dan (2) pendekatan individualistic dimana pengobatan dimulai dengan terapi empiric dan kemudian dapat diselaraskan dengan hasil uji resistensi.



Menurut Prof. Dr. Agus Sjahrurachman, SpMK, dari Departemen Mikrobiologi Klinik, pendekatan apapun yang dipakai, harus dimulai dengan penegakan diagnosis yang akurat dan dapat memandu pengobatan yang memberikan angka kesembuhan tertinggi. Diagnosis laboratorik TB paru pada dewasa lebih ditekankan pada pemeriksaan mikrobiologi. “Pemeriksaan mikroskopik dahak yang diambil tiga kali mempunyai sensitifitas mencapai 80%, namun pemeriksaan ini tidak bisa dipakai untuk pendekatan individualistik,” ujar Agus pada acara 4th Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch (IARW) yang diselenggarakan 29 Juni-1 Juli 2007 di Hotel Borobudur, Jakarta.



Selain pemeriksaan mikroskopik, ada juga pemeriksaan amplikasi asam nukleat. Tapi sayang, pemeriksaaan ini tidak lebih sensitif ketimbang pemeriksaan mikroskopik. Pada beberapa kit, pemeriksaan amplikasi asam nukleat dapat pula mendeteksi non tuberkulosis mycobacteria (NTM). Pemeriksaan ini juga sangat kurang memadu pemilihan kombinasi obat. Sedangkan pemeriksaan berdasarkan respon imun, baik berupa deteksi antibodi maupun interferon, masih belum memenuhi harapan.



Melihat fakta tersebut, salah satu alternatif yang tersedia dalam diagnostik TB adalah dengan pemeriksaan kultur yang dilanjutkan dengan uji kepekaan. Di samping itu, cara pemeriksaan ini bisa memandu pemilihan obat yang terbaik. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana pengelolaan limbah dari kultur. Misalnya saja, BACTEC460 merupakan cara yang dianggap paling akurat baik untuk kultur maupun uji kepekaan, namun sayangnya bermasalah dalam pengelolaan sisa radioaktifnya.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.