Jika Anda tidak pernah merokok sebaiknya jangan pernah memulai. Terutama bagi Anda para wanita.
Studi terbaru mengungkap, para wanita yang berhenti merokok cenderung lebih banyak mengalami gejala menarik diri seperti depresi, gelisah, sulit berkonsentrasi dan bertambah berat badan.
Memang tidak ada dominasi pria atau wanita yang sukses mengakhiri kebiasaan merokok. Menurut laporan yang dipublikasi Mayo Clinic Women's HealthSource. Namun studi tersebut mencatat, setelah mengalami peningkatan berat badan 2,5-5 kilogram selama gejala menarik diri tersebut, akhirnya sebagian wanita memilih merokok kembali.
"Masyarakat perlu memahami jika mereka mengalami gejala kambuh merokok, maka mereka dapat belajar dari itu. Satu-satunya cara untuk berhenti merokok adalah terus berusaha," ujar Patrick Draper, Spesialis yang menangani ketergantungan tembakau pada Mayo Clinic's Nicotine Dependence Center.
Sebagian besar orang perlu mencoba hingga 4-6 kali untuk berusaha berhenti merokok hingga sukses. Draper menyarankan beberapa cara yang dapat menjadi kunci untuk mengakhiri kecanduan merokok.
Pertama, tentukan tanggal atau skema waktu untuk berhenti merokok. Misalnya, Anda dapat memilih hari atau mengatakan akan berhenti dalam 30 hari atau 60 hari yang akan datang. Teguhkan niat Anda.
"Terapi obat-obatan bisa membantu. Dengan menggunakan beberapa pilihan obat seperti nicotine patch, permen karet atau inhaler dapat mengurangi keinginan terhadap nikotin," tutur Draper.
Berdasarkan studi, Anda juga dapat sekaligus mencoba berhenti dari obat anti deppresant seperti bupropon (Wellbutrin, Zyban) atau varenicline (Chantix) juga dapat membantu menurunkan gejala menarik diri selama berhenti merokok.
Draper juga menyarankan untuk meminta bantuan ahli. Terutama seorang spesialis yang menangani ketergantungan rokok bisa membantu Anda membuat rencana yang dapat Anda lakukan.
"Memiliki seseorang yang bisa mendukung Anda, baik itu teman, anggota keluarga atau membuat keloompok pendukung secara online dapat membantu," tuturnya. (healthday/ri)
http://republika.co.id/berita/21940/Wanita_Lebih_Sulit_Berhenti_Merokok
Senin, 28 Desember 2009
Kanker Serviks, Cegah Sebelum Terlambat
JAKARTA-- Kanker mulut rahim atau yang lebih dikenal dengan kanker serviks merupakan momok bagi perempuan Indonesia. Kanker itu menjadi pembunuh nomor satu perempuan di Indonesia.
Kanker mulut rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/seviks yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
Demikian diungkap Dr Ferryal Loetan, ASC&T, Sp RM, MKes-MMR di Win Klinik, Kamar Sutera, Kelapa Gading Square Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain itu, kanker serviks juga rentan dialami wanita yang melakukan hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini dan sering berganti-ganti pasangan seksual. Serta wanita yang menderita infeksi herpes genetalis atau infeksi klamidia menahun dan banyak melahirkan.
Dia menjelaskan, sebagian besar yaitu 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuaomosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim.
Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali. Penyebab terjadinya kelainan pada sel-sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks yaitu virus HPV (human papillomavirus).
"HPV adalah virus penyebab kutil genetalis (kondiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini terdiri dari berbagai macam tipe. Namun terdapat dua tipe yang paling membahayakan, yaitu HPV tipe 16 dan 18," terangnya.
Virus itu ditularkan melalui hubungan seksual. Namun tidak semua infeksi HPV dapat berkembang menjadi kanker serviks. Jika seorang wanita terinfeksi dengan HPV yang tipe lain yang tidak begitu berbahaya, maka dengan kekebalan tubuhnya, wanita tersebut dapat terhindar dari kanker serviks. Biasanya HPV yang berkembang menjadi kanker serviks adalah yang tipe 16 dan 18.
Dr Ferryal juga menuturkan, kebiasaan merokok juga mempertinggi risiko kanker serviks. Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.
Banyak melahirkan.
Risiko semakin tinggi dialami wanita yang suami atau pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia dibawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks.
Perubahan prekanker pada serviks biasanya tidak meminimalkan gejala dan perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul dan pap smear.
"Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan disekitarnya. Pada saat ini akan timbul gejala antara lain perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara dua menstruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopause," jelasnya.
Juga ditandai dengan menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak) dan keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.
Kemudian, gejala dari kanker serviks stadium lanjut yaitu nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan. Serta nyeri panggul punggung dan tungkai. Dari vagina keluar air kemih atau tinja, patah tulang.
Pencegahan
Ada dua cara untuk mencegah kanker serviks. Pertama, mencegah terjadinya infeksi HPV yaitu dengan melakukan vaksinasi. Vaksin ini dibuat dengan teknologi rekombinan, sehingga mempunyai ketahanan yang kuat. Vaksinasi ini merupakan pencegahan yang paling utama. Perlindungan terhadap kanker serviks dengan vaksin ini mencapai 89%. Lama proteksi vaksin ini mencapai 53 bulan.
Kemudian, melakukan pemeriksaan Pap smear secara teratur. Karena pada dasarnya setiap kanker itu jika ditemukan dalam tingkatan yang dini, maka akan lebih mudah dalam penanganannya. Untuk itu diperlukan pendeteksian secara dini terhadap kanker serviks.
Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui secara dini adalah Pap Smear. Sensitifitas Pap Smear mecapai 90% bila dilakukan setiap tahun. Karena kanker serviks ditularkan melalui hubungan seksual, maka wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual hendaknya melakukan Pap Smear setiap tahun sekali.
Selain itu, hendaknya anak perempuan yang berusia dibawah 18 tahun tidak melakukan hubungan seksual. Jangan melakukan hubungan seksual dengan penderita penyakit kulit kelamin atau gunakan kondom untuk mencegah penularan penyakit kulit kelamin. Serta jangan berganti-ganti pasangan seksual dan berhenti merokok. (ri)
http://republika.co.id/berita/18342/Kanker_Serviks_Cegah_Sebelum_Terlambat
Kanker mulut rahim adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/seviks yaitu bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
Demikian diungkap Dr Ferryal Loetan, ASC&T, Sp RM, MKes-MMR di Win Klinik, Kamar Sutera, Kelapa Gading Square Jakarta, beberapa waktu lalu.
Selain itu, kanker serviks juga rentan dialami wanita yang melakukan hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini dan sering berganti-ganti pasangan seksual. Serta wanita yang menderita infeksi herpes genetalis atau infeksi klamidia menahun dan banyak melahirkan.
Dia menjelaskan, sebagian besar yaitu 90% dari kanker serviks berasal dari sel skuaomosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju kedalam rahim.
Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali. Penyebab terjadinya kelainan pada sel-sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks yaitu virus HPV (human papillomavirus).
"HPV adalah virus penyebab kutil genetalis (kondiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini terdiri dari berbagai macam tipe. Namun terdapat dua tipe yang paling membahayakan, yaitu HPV tipe 16 dan 18," terangnya.
Virus itu ditularkan melalui hubungan seksual. Namun tidak semua infeksi HPV dapat berkembang menjadi kanker serviks. Jika seorang wanita terinfeksi dengan HPV yang tipe lain yang tidak begitu berbahaya, maka dengan kekebalan tubuhnya, wanita tersebut dapat terhindar dari kanker serviks. Biasanya HPV yang berkembang menjadi kanker serviks adalah yang tipe 16 dan 18.
Dr Ferryal juga menuturkan, kebiasaan merokok juga mempertinggi risiko kanker serviks. Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.
Banyak melahirkan.
Risiko semakin tinggi dialami wanita yang suami atau pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia dibawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks.
Perubahan prekanker pada serviks biasanya tidak meminimalkan gejala dan perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul dan pap smear.
"Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan disekitarnya. Pada saat ini akan timbul gejala antara lain perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara dua menstruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopause," jelasnya.
Juga ditandai dengan menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak) dan keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.
Kemudian, gejala dari kanker serviks stadium lanjut yaitu nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan. Serta nyeri panggul punggung dan tungkai. Dari vagina keluar air kemih atau tinja, patah tulang.
Pencegahan
Ada dua cara untuk mencegah kanker serviks. Pertama, mencegah terjadinya infeksi HPV yaitu dengan melakukan vaksinasi. Vaksin ini dibuat dengan teknologi rekombinan, sehingga mempunyai ketahanan yang kuat. Vaksinasi ini merupakan pencegahan yang paling utama. Perlindungan terhadap kanker serviks dengan vaksin ini mencapai 89%. Lama proteksi vaksin ini mencapai 53 bulan.
Kemudian, melakukan pemeriksaan Pap smear secara teratur. Karena pada dasarnya setiap kanker itu jika ditemukan dalam tingkatan yang dini, maka akan lebih mudah dalam penanganannya. Untuk itu diperlukan pendeteksian secara dini terhadap kanker serviks.
Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk mengetahui secara dini adalah Pap Smear. Sensitifitas Pap Smear mecapai 90% bila dilakukan setiap tahun. Karena kanker serviks ditularkan melalui hubungan seksual, maka wanita yang sudah pernah melakukan hubungan seksual hendaknya melakukan Pap Smear setiap tahun sekali.
Selain itu, hendaknya anak perempuan yang berusia dibawah 18 tahun tidak melakukan hubungan seksual. Jangan melakukan hubungan seksual dengan penderita penyakit kulit kelamin atau gunakan kondom untuk mencegah penularan penyakit kulit kelamin. Serta jangan berganti-ganti pasangan seksual dan berhenti merokok. (ri)
http://republika.co.id/berita/18342/Kanker_Serviks_Cegah_Sebelum_Terlambat
Perokok Terancam Kanker Lidah
JAKARTA-- Asap rokok yang mengepul dalam rongga mulut dan terkena lidah dapat memicu kanker lidah. Waspadai bercak putih pada sariawan yang juga tidak kunjung sembuh. Hal tersebut juga bisa menjadi pemicu timbulnya kanker lidah.
Lidah merupakan organ yang sangat penting pada tubuh yang sama pentingnya dengan bagian tubuh lainnya. Nyatanya lidah dapat terkena kanker (tumor ganas).
Menurut dokter gigi Klinik Bakti Asih, Pondok Kacang Ciledug Tangerang, drg Tuti Octavira, berdasarkan anatominya, lidah dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu 2/3 depan (anterior) yang dapat digerakkan (termasuk dalam bagian dari rongga mulut) dan 1/3 belakang (posterior) yang tidak dapat bergerak (termasuk dalam bagian orofaring).
“Mereka merupakan satu kesatuan, walaupun berasal dari perkembangan jaringan embrio yang berbeda,” ujar dokter Tuti.
Lebih lanjut dia menjelaskan, insiden kanker lidah meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Umumnya terjadi pada usia sekitar 60 tahun, tetapi saat ini telah terjadi pergeseran usia sehingga banyak ditemukan pada usia lebih muda.
Kebanyakan perokok adalah pria. Tak heran jika pria lebih banyak menderita kanker lidah dari pada wanita dimana perbandingannya adalah 2:1. Tapi kondisi tersebut, kata dokter Tuti juga mulai bergeser karena sudah banyak wanita merokok.
"Kasusnya pun menjadi banyak juga terjadi pada wanita," ungkapnya.
Faktor predisposisi utama terjadinya kanker lidah ini adalah alkohol dan tembakau, selain itu pemakaian gigi palsu yang tidak sesuai, kebersihan mulut yang buruk, radang kronis dan genetik.
Kanker lidah yang paling sering terjadi adalah tipe karsinoma sel skuamosa, jelas dokter Tuti. Sedangkan untuk jenis yang lainnya jarang terjadi. Kanker lidah umumnya terjadi pada bagian tepi lateral, bisa berbentuk eksofitik, infiltratif, dan ulkus
Gejala kanker lidah, dijelaskan Tuti, biasanya terdapat luka (ulkus) seperti sariawan yang tidak sembuh dengan pengobatan yang adekuat, mudah berdarah, nyeri lokal, nyeri yang menjalar ke telinga, nyeri menelan, sulit menelan, pergerakan lidah menjadi semakin terbatas.
"Pada stadium lanjut terjadi kesulitan untuk membuka mulut (trismus) dan adanya pembesaran kelenjar leher," imbuhnnya.
Tuti menuturkan, pencegahan kanker lidah ini, tentunya dengan menghindari faktor-faktor resiko yang bisa mencetuskan timbulnya kanker lidah tersebut. Menurut beberapa penelitian, dapat diberikan retinoid untuk pencegahan kanker lidah dari premalignant (awal dari keganasan) menjadi malignant (keganasan), dan juga untuk mencegah timbulnya tumor kembali di tempat yang berbeda (second primary tumor) dengan cara menstabilisasikan membran mukosa.
Asap rokok yang mengepul dalam rongga mulut dan terkena lidah ternyata memicu kanker. Lidah bisa mengering karena paparan asap rokok.
“Kalau itu terpapar bolak balik mekanismenya akan bekerja berlebihan. Akhirnya orang yang berbakat untuk kanker, sel-selnya berubah menjadi ganas yang akhirnya akan menjadi kanker lidah,” ucap dokter kelahiran Medan, 6 oktober 1981.
Bukan hanya asap rokok, anda yang malas menjaga kebersihan mulut dan gigi memiliki resiko terkena kanker lidah, karena kuman yang berjangkit lama-lama menjadi jamur, akhirnya berkembang menjadi kanker juga bisa menjadi pemicu dari kanker lidah. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/22533/Perokok_Terancam_Kanker_Lidah
Lidah merupakan organ yang sangat penting pada tubuh yang sama pentingnya dengan bagian tubuh lainnya. Nyatanya lidah dapat terkena kanker (tumor ganas).
Menurut dokter gigi Klinik Bakti Asih, Pondok Kacang Ciledug Tangerang, drg Tuti Octavira, berdasarkan anatominya, lidah dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu 2/3 depan (anterior) yang dapat digerakkan (termasuk dalam bagian dari rongga mulut) dan 1/3 belakang (posterior) yang tidak dapat bergerak (termasuk dalam bagian orofaring).
“Mereka merupakan satu kesatuan, walaupun berasal dari perkembangan jaringan embrio yang berbeda,” ujar dokter Tuti.
Lebih lanjut dia menjelaskan, insiden kanker lidah meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Umumnya terjadi pada usia sekitar 60 tahun, tetapi saat ini telah terjadi pergeseran usia sehingga banyak ditemukan pada usia lebih muda.
Kebanyakan perokok adalah pria. Tak heran jika pria lebih banyak menderita kanker lidah dari pada wanita dimana perbandingannya adalah 2:1. Tapi kondisi tersebut, kata dokter Tuti juga mulai bergeser karena sudah banyak wanita merokok.
"Kasusnya pun menjadi banyak juga terjadi pada wanita," ungkapnya.
Faktor predisposisi utama terjadinya kanker lidah ini adalah alkohol dan tembakau, selain itu pemakaian gigi palsu yang tidak sesuai, kebersihan mulut yang buruk, radang kronis dan genetik.
Kanker lidah yang paling sering terjadi adalah tipe karsinoma sel skuamosa, jelas dokter Tuti. Sedangkan untuk jenis yang lainnya jarang terjadi. Kanker lidah umumnya terjadi pada bagian tepi lateral, bisa berbentuk eksofitik, infiltratif, dan ulkus
Gejala kanker lidah, dijelaskan Tuti, biasanya terdapat luka (ulkus) seperti sariawan yang tidak sembuh dengan pengobatan yang adekuat, mudah berdarah, nyeri lokal, nyeri yang menjalar ke telinga, nyeri menelan, sulit menelan, pergerakan lidah menjadi semakin terbatas.
"Pada stadium lanjut terjadi kesulitan untuk membuka mulut (trismus) dan adanya pembesaran kelenjar leher," imbuhnnya.
Tuti menuturkan, pencegahan kanker lidah ini, tentunya dengan menghindari faktor-faktor resiko yang bisa mencetuskan timbulnya kanker lidah tersebut. Menurut beberapa penelitian, dapat diberikan retinoid untuk pencegahan kanker lidah dari premalignant (awal dari keganasan) menjadi malignant (keganasan), dan juga untuk mencegah timbulnya tumor kembali di tempat yang berbeda (second primary tumor) dengan cara menstabilisasikan membran mukosa.
Asap rokok yang mengepul dalam rongga mulut dan terkena lidah ternyata memicu kanker. Lidah bisa mengering karena paparan asap rokok.
“Kalau itu terpapar bolak balik mekanismenya akan bekerja berlebihan. Akhirnya orang yang berbakat untuk kanker, sel-selnya berubah menjadi ganas yang akhirnya akan menjadi kanker lidah,” ucap dokter kelahiran Medan, 6 oktober 1981.
Bukan hanya asap rokok, anda yang malas menjaga kebersihan mulut dan gigi memiliki resiko terkena kanker lidah, karena kuman yang berjangkit lama-lama menjadi jamur, akhirnya berkembang menjadi kanker juga bisa menjadi pemicu dari kanker lidah. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/22533/Perokok_Terancam_Kanker_Lidah
Vaksinasi Tangkal Kanker Serviks
JAKARTA-- Kanker serviks merupakan kanker yang dapat menyerang perempuan tanpa memandang usia dan latar belakang. Kabar baiknya kanker jenis itu dapat dicegah.
Menurut Ketua II Pelayanan Sosial Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Dr Melissa S Luwia MHA, virus penyebab kanker adalah Human Papiloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18. Terbukti sebanyak 71% kanker serviks disebabkan virus jenis itu.
Dr Melissa mengungkapkan keprihatinannya atas angka kejadian kanker serviks di Indonesia yang sangat tinggi.
”Penyakit ini merupakan beban kesehatan, ekonomi dan sosial bagi perempuan dimanapun,” ujarnya saat media edukasi di Jakarta, Rabu (21/1).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), Prof M. Farid Aziz, SpOG (Spesialisasi Obsstetri-Ginekologi/Kebidanan-kandungan, konsultan Onkologi) mengatakan, kanker serviks adalah salah satu penyakit kanker yang dapat dicegah.
"Namun lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati, kami himbau para perempuan untuk melakukan pencegahan sejak dini," paparnya.
Prof. Farid lebih lanjut menjelaskan, deteksi dini dengan tes Pap yang dipraktekkan di negara maju menunjukkan hasil yang memuaskan dengan penurunan angka kematian karena kanker serviks lebih dari separuhnya.
Ditambahkan oleh Farid, kendala di negara sedang berkembang dengan cara itu adalah relatif mahal karena memerlukan biaya tinggi, tenaga ahli yang cukup dan pengorganisasian yang rapih.
Sehingga di negara yang sedang berkembang harus dipilih cara yang lebih praktis dan murah yaitu IV A (inspeksi visual dengan asam asetat) sebagai pengganti tes pap. Yang lebih praktis lagi jika ada kendala biaya dapat diatasi ialah dengan vaksinasi.
”Vaksinasi sangat praktis karena cukup dengan suntikan, tidak memerlukan perlengkapan yang rumit dan mempunyai efektivitas yang tinggi,” jelas Farid.
Dalam kesempatan yang sama, Spesialis penyakit dalam, Konsultan alergi imunologi, Prof Samsuridjal Djauzi SpPD KAI FACS menuturkan, saat ini vaksin kanker serviks merupakan penemuan yang terkini untuk pencegahan kanker serviks. Idealnya vaksin itu diberikan sebaiknya sedini mungkin sebelum melakukan hubungan seksual pertama namun juga dapat diberikan pada perempuan dewasa muda mulai dari 10 tahun.
”Vaksin kanker serviks dari GSK yang terdiri dari Efikasi dan Imunogenisitas memberikan keamanan dimana hampir semua efek samping yang ditimbulkan adalah lokal.” jelas Prof. Samsuridjal. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/27444/Vaksinasi_Tangkal_Kanker_Serviks
Menurut Ketua II Pelayanan Sosial Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Dr Melissa S Luwia MHA, virus penyebab kanker adalah Human Papiloma Virus (HPV) tipe 16 dan 18. Terbukti sebanyak 71% kanker serviks disebabkan virus jenis itu.
Dr Melissa mengungkapkan keprihatinannya atas angka kejadian kanker serviks di Indonesia yang sangat tinggi.
”Penyakit ini merupakan beban kesehatan, ekonomi dan sosial bagi perempuan dimanapun,” ujarnya saat media edukasi di Jakarta, Rabu (21/1).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Ketua Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), Prof M. Farid Aziz, SpOG (Spesialisasi Obsstetri-Ginekologi/Kebidanan-kandungan, konsultan Onkologi) mengatakan, kanker serviks adalah salah satu penyakit kanker yang dapat dicegah.
"Namun lebih dari 70% penderita datang memeriksakan diri dalam stadium lanjut sehingga banyak menyebabkan kematian karena terlambat ditemukan dan diobati, kami himbau para perempuan untuk melakukan pencegahan sejak dini," paparnya.
Prof. Farid lebih lanjut menjelaskan, deteksi dini dengan tes Pap yang dipraktekkan di negara maju menunjukkan hasil yang memuaskan dengan penurunan angka kematian karena kanker serviks lebih dari separuhnya.
Ditambahkan oleh Farid, kendala di negara sedang berkembang dengan cara itu adalah relatif mahal karena memerlukan biaya tinggi, tenaga ahli yang cukup dan pengorganisasian yang rapih.
Sehingga di negara yang sedang berkembang harus dipilih cara yang lebih praktis dan murah yaitu IV A (inspeksi visual dengan asam asetat) sebagai pengganti tes pap. Yang lebih praktis lagi jika ada kendala biaya dapat diatasi ialah dengan vaksinasi.
”Vaksinasi sangat praktis karena cukup dengan suntikan, tidak memerlukan perlengkapan yang rumit dan mempunyai efektivitas yang tinggi,” jelas Farid.
Dalam kesempatan yang sama, Spesialis penyakit dalam, Konsultan alergi imunologi, Prof Samsuridjal Djauzi SpPD KAI FACS menuturkan, saat ini vaksin kanker serviks merupakan penemuan yang terkini untuk pencegahan kanker serviks. Idealnya vaksin itu diberikan sebaiknya sedini mungkin sebelum melakukan hubungan seksual pertama namun juga dapat diberikan pada perempuan dewasa muda mulai dari 10 tahun.
”Vaksin kanker serviks dari GSK yang terdiri dari Efikasi dan Imunogenisitas memberikan keamanan dimana hampir semua efek samping yang ditimbulkan adalah lokal.” jelas Prof. Samsuridjal. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/27444/Vaksinasi_Tangkal_Kanker_Serviks
Waspada Serangan Stroke
JAKARTA-- Stroke dapat menyebabkan kelumpuhan serta membuat seseorang mengalami kesulitan berbicara dan berkomunikasi atau afasia. Dokter spesialis saraf dari Omni Hospital Pulomas, dr Ronny Yoesyanto SpS mengatakan, penyakit stroke merupakan gangguan pembuluh darah otak yang terjadi tiba-tiba.
"Kasusnya bisa berupa penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah sehingga mengakibatkan pendarahan di otak," paparnya.
Ronny mengatakan, stroke merupakan penyakit yang memiliki gejala samar. Gejala tersebut antara lain pikun, penurunan daya ingat, atau bicara menjadi cadel. Untuk serangan stroke yang parah bisa juga terjadi, seperti badan menjadi lumpuh sebelah, kejang, bicara menjadi cadel atau pelo, penglihatan berkurang hingga buta sama sekali, koma,dan pusing berat.
’’Beberapa penanganan harus segera diatasi karena apabila tidak diatasi, tidak menutup kemungkinan penyakit ini bisa semakin parah,” sebutnya.
Ronny juga menambahkan, dalam menangani stroke terdapat istilah golden period atau jangka waktu terbaik penanganan stroke, yakni paling lama empat jam usai serangan atau setelah timbul gejala. ’’Tingkat keparahan pada stroke apabila tidak segera diatasi, bisa menimbulkan kecacatan sampai kematian,” tutur Ronny.
Meski dapat diselamatkan, tak jarang pasien kehilangan ingatan atau afasia
Ronny lebih lanjut menyebutkan salah satu efek dari stroke, yaitu afasia. Afasia adalah keadaan seseorang tidak lagi dapat berkomunikasi atau sulit berbicara. Pada. Dasarnya, tingkat keparahan dan luasnya cakupan penderita afasia tergantung lokasi dan keparahan cedera otak.
Dokter spesialis bedah saraf dari Omni Hospital Pulomas, Prof Dr Sidiarto Kusumoputro SpS memaparkan, stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusak atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan jaringan tersebut.
’’Stroke disebabkan adanya penyumbatan pembuluh darah otak atau karena bocornya pembuluh darah sehingga menimbulkan perdarahan otak,”paparnya.
Otak terbagi dari berbagai bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada kebanyakan orang, bagian untuk kemampuan menggunakan bahasa terdapat di sisi kiri otak. Jika terjadi cedera pada bagian bahasa di otak, maka terjadilah apa yang disebut afasia,
’’Afasia atau gangguan berbahasa adalah ketidakmampuan orang untuk melakukan komunikasi linguistik,” ungkap Sidiarto pada seminar ’’Gangguan Berkomunikasi Pasca-Stroke’’ di Omni Hospital Pulomas, pekan lalu.
Sidiarto menjelaskan, gejala afasia banyak dijumpai sebagai akibat stroke di belahan (hemisfer) otak kiri yang memang menjadi pusat berbahasa bagi orang yang kidal tangan kanan (right hinder).
’’Afasia adalah gangguan linguistik atau tata bahasa yang dijabarkan sebagai sebuah penurunan dan disfungsi dalam isi, bentuk, penggunaan bahasa, dan terkait dengan proses kognitif,” tutur spesialis saraf itu.
Meski mengalami kesulitan berbahasa, ada juga beberapa pasien, penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik. Namun yang menjadi kendala bagi mereka adalah kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau sulit berkomunikasi.
Sidiarto mengatakan, diperlukan peranan keluarga atau orang terdekat dalam menangani pasien afasia. Beruntunglah orang Indonesia yang masih banyak dirawat keluarganya.
"Artinya, pihak keluarga harus sabar dalam berkomunikasi dengan pasien afasia,” imbuh Sidiarto. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/28054/Waspada_Serangan_Stroke
"Kasusnya bisa berupa penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah sehingga mengakibatkan pendarahan di otak," paparnya.
Ronny mengatakan, stroke merupakan penyakit yang memiliki gejala samar. Gejala tersebut antara lain pikun, penurunan daya ingat, atau bicara menjadi cadel. Untuk serangan stroke yang parah bisa juga terjadi, seperti badan menjadi lumpuh sebelah, kejang, bicara menjadi cadel atau pelo, penglihatan berkurang hingga buta sama sekali, koma,dan pusing berat.
’’Beberapa penanganan harus segera diatasi karena apabila tidak diatasi, tidak menutup kemungkinan penyakit ini bisa semakin parah,” sebutnya.
Ronny juga menambahkan, dalam menangani stroke terdapat istilah golden period atau jangka waktu terbaik penanganan stroke, yakni paling lama empat jam usai serangan atau setelah timbul gejala. ’’Tingkat keparahan pada stroke apabila tidak segera diatasi, bisa menimbulkan kecacatan sampai kematian,” tutur Ronny.
Meski dapat diselamatkan, tak jarang pasien kehilangan ingatan atau afasia
Ronny lebih lanjut menyebutkan salah satu efek dari stroke, yaitu afasia. Afasia adalah keadaan seseorang tidak lagi dapat berkomunikasi atau sulit berbicara. Pada. Dasarnya, tingkat keparahan dan luasnya cakupan penderita afasia tergantung lokasi dan keparahan cedera otak.
Dokter spesialis bedah saraf dari Omni Hospital Pulomas, Prof Dr Sidiarto Kusumoputro SpS memaparkan, stroke merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusak atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan jaringan tersebut.
’’Stroke disebabkan adanya penyumbatan pembuluh darah otak atau karena bocornya pembuluh darah sehingga menimbulkan perdarahan otak,”paparnya.
Otak terbagi dari berbagai bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada kebanyakan orang, bagian untuk kemampuan menggunakan bahasa terdapat di sisi kiri otak. Jika terjadi cedera pada bagian bahasa di otak, maka terjadilah apa yang disebut afasia,
’’Afasia atau gangguan berbahasa adalah ketidakmampuan orang untuk melakukan komunikasi linguistik,” ungkap Sidiarto pada seminar ’’Gangguan Berkomunikasi Pasca-Stroke’’ di Omni Hospital Pulomas, pekan lalu.
Sidiarto menjelaskan, gejala afasia banyak dijumpai sebagai akibat stroke di belahan (hemisfer) otak kiri yang memang menjadi pusat berbahasa bagi orang yang kidal tangan kanan (right hinder).
’’Afasia adalah gangguan linguistik atau tata bahasa yang dijabarkan sebagai sebuah penurunan dan disfungsi dalam isi, bentuk, penggunaan bahasa, dan terkait dengan proses kognitif,” tutur spesialis saraf itu.
Meski mengalami kesulitan berbahasa, ada juga beberapa pasien, penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik. Namun yang menjadi kendala bagi mereka adalah kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau sulit berkomunikasi.
Sidiarto mengatakan, diperlukan peranan keluarga atau orang terdekat dalam menangani pasien afasia. Beruntunglah orang Indonesia yang masih banyak dirawat keluarganya.
"Artinya, pihak keluarga harus sabar dalam berkomunikasi dengan pasien afasia,” imbuh Sidiarto. (cr1/ri)
http://republika.co.id/berita/28054/Waspada_Serangan_Stroke
Waspada Tumor Otak Pada Anak
JAKARTA -Tumor otak masih menjadi permasalahan serius dari tipe kanker yang diderita oleh anak-anak. Tumor otak merupakan kanker kedua pada anak-anak setelah leukemia. Insiden terjadinya terjadinya kanker otak pada anak-anak 13,3 per 100 ribu populasi, serta angka kematian akibat kanker otak pada anak-anak 2,6 per 100 ribu populasi terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2001-2005. Sayangnya, angka insiden tumor otak di Indonesia belum banyak di temukan dalam literatur.
Penyebab terjadinya tumor otak pada anak-anak sampai saat ini belum ditemukan secara mutlak. Herediter atau kelainan syaraf secara genetik yang diturunkan dari orang tua, paparan radiasi, asupan gizi saat ibu hamil, dan trauma kepala dikatakan dr. Samsul Ashari, SpBS, spesialis bedah syaraf dari RS Mayapada, Tanggerang, belum menjadi faktor risiko yang konsisten.
Lebih lanjut Samsul menerangkan gejala klinis dari tumor otak. Menurut paparannya gejala klinis dari tumor otak tidak spesifik terutama pada bayi seperti rasa tidak enak badan, gagal tumbuh kembang, mudah marah, juga tanda-tanda ataxia seperti gangguan cara berjalan, keseimbangan dan kekikukan.
"Namun pada anak yang lebih besar dapat ditemukan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah yang memancar terutama terjadi pada pagi hari. Dapat pula ditemukan tanda-tanda lokal seperti kelumpuhan saraf kranialis, kejang atau tidak dapat tegaknya posisi kepala," paparnya dalam seminar 'Manajemen Terkini Tumor Otak' di RS Mayapada, Tanggerang, beberapa waktu lalu.
Samsul menegaskan untuk melakukan pemerikasaan jika gejala klinis terdapat pada anak. Pemeriksaan imaging merupakan pemeriksaan yang dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis tumor otak. Selain itu kata Samsul pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan terbaik dalam penentuan diagnosis tersebut.
"Pemeriksaan computed tomography (CT) scanning dapat mengaburkan suatu gambar lesi terutama bentuk lesi di fossa posterior atau tumor yang tidak membesar seperti low-grade glioma," imbuhnya.
Tumor otak pada anak-anak berbeda dengan dewasa. Pada umumnya berasal dari sel muda (young cell). Sel tersebut masih bertumbuh dan belum mencapai kematangan maksimal. Sel tumor bertumbuh sejalan dengan waktu sesuai pertumbuhan anak tersebut. Tumor otak dapat berasal dari seluruh macam sel yang ada seperti primitive neurectodermal tumor (PNET), medulloblastoma, astroblastoma, neuro-blastoma, astrocytoma, gangliocytoma/neurocytoma, ependymoma dan lainnya.
Selain itu terdapat juga jenis tumor yang jarang seperti pinealblastoma. Juga terdapat tumor otak yang berasal bukan dari jaringan otak seperti pituitary tumor, teratomas, meningiomas, skull bone tumors, dan blood vessel tumors hemangioblastoma atau cavernous angioma.
Anak –anak pada umumnya terkena tumor otak akibat sel medulloblastoma. Insiden 25-35% dari kanker otak pada anak. Penyebab medulloblastoma masih belum diketahui.
Samsul memaparkan gejala dari primitive neurectodermal tumor, tergantung dari besar dan lokasi tumbuhnya tumor. Seringkali diketahui anak-anak menderita tumor saat terjadi gejala sumbatan aliran cairan serebro spinal atau yang disebut hidrosefalus.Hal ini mengakibatkan sakit kepala, gangguan penglihatan bahkan gangguan kesadaran.
Oleh karena itu, Samsul menganjurkan orang tua waspada dang mengikuti terus perubahan tumbuh kembang si bocah. Meski belum ada terapi progresif dalam pengobatan kanker, mengetahui di stadium awal tentu lebih baik.
Sejauh ini tatalaksana pengobatan medulloblastoma merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan terapi, yakni operasi atau pembedahan pengangkatan tumor dan pemasangan shunt, kemoterapi dan radiasi./cr1/it
http://republika.co.id/berita/29354/Waspada_Tumor_Otak_Pada_Anak
Penyebab terjadinya tumor otak pada anak-anak sampai saat ini belum ditemukan secara mutlak. Herediter atau kelainan syaraf secara genetik yang diturunkan dari orang tua, paparan radiasi, asupan gizi saat ibu hamil, dan trauma kepala dikatakan dr. Samsul Ashari, SpBS, spesialis bedah syaraf dari RS Mayapada, Tanggerang, belum menjadi faktor risiko yang konsisten.
Lebih lanjut Samsul menerangkan gejala klinis dari tumor otak. Menurut paparannya gejala klinis dari tumor otak tidak spesifik terutama pada bayi seperti rasa tidak enak badan, gagal tumbuh kembang, mudah marah, juga tanda-tanda ataxia seperti gangguan cara berjalan, keseimbangan dan kekikukan.
"Namun pada anak yang lebih besar dapat ditemukan tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah yang memancar terutama terjadi pada pagi hari. Dapat pula ditemukan tanda-tanda lokal seperti kelumpuhan saraf kranialis, kejang atau tidak dapat tegaknya posisi kepala," paparnya dalam seminar 'Manajemen Terkini Tumor Otak' di RS Mayapada, Tanggerang, beberapa waktu lalu.
Samsul menegaskan untuk melakukan pemerikasaan jika gejala klinis terdapat pada anak. Pemeriksaan imaging merupakan pemeriksaan yang dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis tumor otak. Selain itu kata Samsul pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan terbaik dalam penentuan diagnosis tersebut.
"Pemeriksaan computed tomography (CT) scanning dapat mengaburkan suatu gambar lesi terutama bentuk lesi di fossa posterior atau tumor yang tidak membesar seperti low-grade glioma," imbuhnya.
Tumor otak pada anak-anak berbeda dengan dewasa. Pada umumnya berasal dari sel muda (young cell). Sel tersebut masih bertumbuh dan belum mencapai kematangan maksimal. Sel tumor bertumbuh sejalan dengan waktu sesuai pertumbuhan anak tersebut. Tumor otak dapat berasal dari seluruh macam sel yang ada seperti primitive neurectodermal tumor (PNET), medulloblastoma, astroblastoma, neuro-blastoma, astrocytoma, gangliocytoma/neurocytoma, ependymoma dan lainnya.
Selain itu terdapat juga jenis tumor yang jarang seperti pinealblastoma. Juga terdapat tumor otak yang berasal bukan dari jaringan otak seperti pituitary tumor, teratomas, meningiomas, skull bone tumors, dan blood vessel tumors hemangioblastoma atau cavernous angioma.
Anak –anak pada umumnya terkena tumor otak akibat sel medulloblastoma. Insiden 25-35% dari kanker otak pada anak. Penyebab medulloblastoma masih belum diketahui.
Samsul memaparkan gejala dari primitive neurectodermal tumor, tergantung dari besar dan lokasi tumbuhnya tumor. Seringkali diketahui anak-anak menderita tumor saat terjadi gejala sumbatan aliran cairan serebro spinal atau yang disebut hidrosefalus.Hal ini mengakibatkan sakit kepala, gangguan penglihatan bahkan gangguan kesadaran.
Oleh karena itu, Samsul menganjurkan orang tua waspada dang mengikuti terus perubahan tumbuh kembang si bocah. Meski belum ada terapi progresif dalam pengobatan kanker, mengetahui di stadium awal tentu lebih baik.
Sejauh ini tatalaksana pengobatan medulloblastoma merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan terapi, yakni operasi atau pembedahan pengangkatan tumor dan pemasangan shunt, kemoterapi dan radiasi./cr1/it
http://republika.co.id/berita/29354/Waspada_Tumor_Otak_Pada_Anak
Pola Hidup Sehat Nabi Muhammad SAW
Pertama, Asupan awal ke dalam tubuh Rasulullah adalah udara segar di Subuh hari. Beliau bangun sebelum Subuh dan melaksanakan Qiyamul Lail. Para pakar kesehatan menyatakan bahwa udara sepertiga malam terakhir sangat kaya dengan oksigen dan belum terkotori oleh zat-zat lain, sehingga sangat bermanfaat untuk mengoptimalisasi metabolisme tubuh. Hal ini jelas sangat besar dan pengaruhnya terhadap vitalitas seseorang dalam aktivitasnya selama seharian penuh.
Kedua, Di pagi hari, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menggunakan siwak untuk menjaga kesehatan mulut dan giginya. Mulut dan gigi merupakan organ tubuh yang sangat berperan dalam konsumsi makanan. Apabila mulut dan gigi sakit, maka biasanya proses konsumsi makanan menjadi terganggu
Ketiga, Di pagi hari pula Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam membuka menu sarapannya dengan segelas air putih yang dicampur dengan sesendok madu asli. Khasiatnya luar biasa. Dalam Al Qur’an, madu merupakan syifaa (obat) yang diungkapkan dengan isim nakiroh, menunjukkan arti umum dan menyeluruh. Hal ini berarti pada dasarnya madu bisa menjadi obat atas berbagai penyakit.
Keempat, Masuk waktu dhuha (pagi menjelang siang), Rasulullah SAW senantiasa mengkonsumsi 7 butir kurma ajwa (matang). Beliau pernah bersabda,”Barang siapa makan tujuh butir kurma maka akan terlindung dari racun.”
Kelima, Menjelang sore hari, menu Rasulullah biasanya adalah cuka dan minyak zaitun yang dikonsumsi dengan makanan pokok seperti roti. Manfaatnya banyak sekali, diantaranya mencegah lemah tulang, kepikunan di hari tua, melancarkan, menghancurkan kolesterol, dan melancarkan pencernaan. Roti dicampur cuka dan minyak zaitun juga berfungsi untuk mencegah kanker dan menjaga suhu tubuh di musim dingin
Keenam, Di malam hari, menu utama makan malam Rasulullah adalah sayur-sayuran. Secara umum sayuran memiliki kandungan zat dan fungsi yang sama yaitu menguarkan daya tahan tubuh dan melindunginya dari serangan penyakit
Ketujuh, Rasulullah SAW tidak langsung tidur setelah makan malam. Beliau beraktivitas terlebih dahulu supaya makanan yang dikonsumsi masuk lambung dengan cepat dan baik sehingga mudah dicerna. Caranya bisa juga dengan shalat. Rasulullah SAW bersabda,”Cairkan makanan kalian dengan berdzikir kepada Allah SWT dan shalat, serta janganlah kalian langsung tidur setelah makan, karena dapat membuat hati kalian menjadi keras.”(HR Abu Nu’aim dari Aisyah r.a.)
Kedelapan, Rasulullah SAW sering menyempatkan diri untuk berolahraga. Terkadang beliau berolahraga sambil bermain dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Pernah pula beliau lomba lari dengan istri tercintanya Aisyah r.a. Olahraga diakui oleh para pakar kesehatan sangat bermanfaat bagi tubuh.
Kesembilan Rasulullah SAW tidak menganjurkan umatnya untuk begadang. Karena itulah beliau tidak menyukai berbincang-bincang dan makan sesudah waktu Isya. Biasanya beliau tidur lebih awal supaya bisa bangun lebih pagi. Istirahat yang cukup dibutuhkan oleh tubuh karena tidur termasuk hak tubuh.
Sumber: Majalah Alia no II Tahun V Rabiul Sani – Jumadil Awal 1429 H / Mei 2008
Kedua, Di pagi hari, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menggunakan siwak untuk menjaga kesehatan mulut dan giginya. Mulut dan gigi merupakan organ tubuh yang sangat berperan dalam konsumsi makanan. Apabila mulut dan gigi sakit, maka biasanya proses konsumsi makanan menjadi terganggu
Ketiga, Di pagi hari pula Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam membuka menu sarapannya dengan segelas air putih yang dicampur dengan sesendok madu asli. Khasiatnya luar biasa. Dalam Al Qur’an, madu merupakan syifaa (obat) yang diungkapkan dengan isim nakiroh, menunjukkan arti umum dan menyeluruh. Hal ini berarti pada dasarnya madu bisa menjadi obat atas berbagai penyakit.
Keempat, Masuk waktu dhuha (pagi menjelang siang), Rasulullah SAW senantiasa mengkonsumsi 7 butir kurma ajwa (matang). Beliau pernah bersabda,”Barang siapa makan tujuh butir kurma maka akan terlindung dari racun.”
Kelima, Menjelang sore hari, menu Rasulullah biasanya adalah cuka dan minyak zaitun yang dikonsumsi dengan makanan pokok seperti roti. Manfaatnya banyak sekali, diantaranya mencegah lemah tulang, kepikunan di hari tua, melancarkan, menghancurkan kolesterol, dan melancarkan pencernaan. Roti dicampur cuka dan minyak zaitun juga berfungsi untuk mencegah kanker dan menjaga suhu tubuh di musim dingin
Keenam, Di malam hari, menu utama makan malam Rasulullah adalah sayur-sayuran. Secara umum sayuran memiliki kandungan zat dan fungsi yang sama yaitu menguarkan daya tahan tubuh dan melindunginya dari serangan penyakit
Ketujuh, Rasulullah SAW tidak langsung tidur setelah makan malam. Beliau beraktivitas terlebih dahulu supaya makanan yang dikonsumsi masuk lambung dengan cepat dan baik sehingga mudah dicerna. Caranya bisa juga dengan shalat. Rasulullah SAW bersabda,”Cairkan makanan kalian dengan berdzikir kepada Allah SWT dan shalat, serta janganlah kalian langsung tidur setelah makan, karena dapat membuat hati kalian menjadi keras.”(HR Abu Nu’aim dari Aisyah r.a.)
Kedelapan, Rasulullah SAW sering menyempatkan diri untuk berolahraga. Terkadang beliau berolahraga sambil bermain dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Pernah pula beliau lomba lari dengan istri tercintanya Aisyah r.a. Olahraga diakui oleh para pakar kesehatan sangat bermanfaat bagi tubuh.
Kesembilan Rasulullah SAW tidak menganjurkan umatnya untuk begadang. Karena itulah beliau tidak menyukai berbincang-bincang dan makan sesudah waktu Isya. Biasanya beliau tidur lebih awal supaya bisa bangun lebih pagi. Istirahat yang cukup dibutuhkan oleh tubuh karena tidur termasuk hak tubuh.
Sumber: Majalah Alia no II Tahun V Rabiul Sani – Jumadil Awal 1429 H / Mei 2008
Sehat ala Nabi Muhammad = Kurma
Allah Swt telah melebihkan kurma dari buah-buahan yang lain. Allah menyebutkannya dalam Al-Qur’an dalam 20 tempat yang berbeda dengan memakai lafaz pohon kurma; an-Nakhl, an-Nakhiil dan an-Nakhlah. Kurma mendapat tempat istimewa dalam Al-Qur’an dan sebenar-benar perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur’an Al-Karim). Allah telah menetapkan bahwasanya pohon kurma ada di bumi, kemudian Allah mengutamakannya dengan menyebutkan ciri-ciri pohon dan buah ini:
Allah berfirman:
“Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang memiliki kelopak mayang.” (Q.S. Ar-Rahman: 11)
Ibnu Katsir berkata, ”Allah menyebutkan buah kurma ini secara khusus karena kemuliaan dan manfaat yang dikandungnya, baik ketika masih basah maupun ketika telah kering.”
“Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun.” (Q.S. Qaaf: 10)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman di atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Ra’du: 4)
Buah kurma mengandung banyak manfaat, di antaranya kurma sangat dianjurkan bagi perempuan yang hamil dan yang akan segera melahirkan. Bahkan Allah memerintahkan Maryam binti ‘Imran untuk memakan buah kurma ini ketika ia sedang nifas.
Dokter Muhammad an-Nasimi dalam kitabnya, ath-Thibb an-Nabawy wal ‘Ilmil Hadis (Pengobatan Ala Nabi dan Ilmu Modern) mengatakan:
“Hikmah dari ayat ini secara kedokteran adalah, perempuan hamil yang akan melahirkan itu sangat membutuhkan makanan dan minuman yang kaya akan unsur gula, hal ini karena banyaknya kontraksi otot-otot rahim ketika akan mengeluarkan jabang bayi, terlebih lagi apabila hal itu membutuhkan waktu yang lama. Kandungan gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa sistolennya (kontraksi jantung ketika darah dipompa ke pembuluh nadi). Dan kedua unsur itu banyak terkandung dalam ruthab (kurma basah). Kandungan gula dalam ruthab sangat mudah untuk dicerna dengan cepat oleh tubuh.”
Keajaiban buah kurma dari Anas r.a., beliau berkata, "Rasulullah SAW. berbuka puasa sebelum shalat dengan memakan kurma segar, kalau tidak ada maka dengan kurma kering, dan kalau tidak ada beliau meminum beberapa teguk air." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Hal ini karena kurma mengandung semua unsur makanan pokok yang dibutuhkan tubuh, yaitu gula, protein, lemak, mineral, dan vitamin.
Nabi SAW dalam beberapa hadits, menganjuran kita untuk mengkonsumsi tujuh buah kurma. Dan ternyata, tujuh buah kurma ini bila ditimbang ada sekitar 100 gram yang mengandung:
1. Gula = 75,00 gram
2. Serat selulosa = 4,00 gram
3. Air = 22,50 gram
4. Protein = 2,50 gram
5. Lemak = 2,50 gram,
6. Vitamin-vitamin:
Vitamin A = 60 IU
Vitamin B-1 = 0, 08 miligram,
Vitamin B-2 = 0, 05 miligram,
7. Mineral.
Kurma itu penuh asam mineral yang merupakan unsur terpenting sebagai makanan bagi tubuh, berupa:
Potasium = 79 miligram
Tembaga = 21 miligram
Belerang = 65 miligram
Besi = 5 miligram
Magnesium = 65 miligram
Mangan = 2 miligram
Kalsium = 65 miligram
Fosfor = 72 gram
Pada pertengahan kedua abad ke-20, para ahli mengungkapkan adanya asam amino yang lain pada kurma. Dan yang terpenting dalam asam ini adalah glutathione sebagai antioksidan. Ternyata, bagi 100 gram (7 kurma) dapat memberikan lebih dari 350 energi. Jadi, nilai gizi kurma hampir sempurna. Kurma adalah rejeki yang beruntun, datang terus-menerus, tidak terputus sebagai rejeki dari Allah SWT untuk manusia.
Kurma Menurut Tinjauan Medis dan Pengobatan
1. Dalam kurma, ditemukan beberapa bahan kimia yang memengaruhi horman oksitosik, yaitu hormon yang bercampur di dalam peranakan wanita, sehingga dapat membantu percepatan kelahiran, serta dapat mengurangi resiko pendarahan setelah melahirkan. Hormon lain dalam kurma adalah hormon untuk menghambat aktivitas hormon kelenjar gondok (glandula thyreoidea). Bahan yang lain, yaitu hormon pembangkit kelenjar susu, sehingga dapat memperlancar ASI (Air Susu Ibu).
2. Serat selulosa berguna untuk membangkitkan kerja usus, sebagai obat mujarab untuk penyembuhan yang disebabkan kurang makan. Serat ini tidak dapat dicerna oleh alat pencernaan kita, sehingga dapat menjaga tubuh supaya terhindar dari kekurangan makanan dalam perut.
3. Vitamin A diperlukan untuk pemeliharaan epitel selaput lendir, ketajaman penglihatan mata, dan pencegahan terjadinya infeksi. Oleh karena ini lah orang-orang gurun selalu mengkonsumsi kurma untuk memperkuat pendengaran dan memfokuskan penglihatan.
Manfaat lainnya dari vitamin A banyak sekali. Aktivitas kehidupan di dalam tubuh kebanyakan bertumpu pada vitamin-vitamin tersebut. Vitamin bukan lah bahan penguat tubuh, tapi vitamin diperlukan untuk menyempurnakan aktivitas kelenjar getah bening dalam tubuh dengan cara yang lebih baik.
4. Fosfor bersama kalsium diperlukan untuk membentuk tulang dan kesehatan gigi. Fosfor berguna untuk membangun aktivitas kelenjar dan mengembalikan fungsi kelenjar tubuh. Fosfor juga berperan penting sebagai nutrisi otak, sehingga bila dikonsumsi teratur, dalam jangka panjang berefek mencerdaskan otak.
5. Magnesium penting sekali bagi aktivitas kehidupan di dalam tubuh, serta untuk menjaga diri dari penyakit.
6. Besi sangat penting untuk aktivitas pembentukan hemoglobin dan zat darah merah dalam sumsum tulang. Oleh karena itu, ia diperlukan untuk melindungi manusia dari kekurangan darah.
7. Seng, diperlukan untuk mengobati penyakit sensitivitas tubuh.
8. Kurma kering mengandung aspirin (acetylsalicylic acid) alami yang dapat mengurangi rasa sakit (analgesic).
9. Kalium (potassium) signifikan untuk mengatasi kelelahan, membuat organ jantung bekerja lebih optimal, mengaktifkan kontraksi otot, dan berperan dalam pengaturan tekanan darah.taq/berbagai sumber
http://republika.co.id/berita/34252/Sehat_ala_Nabi_Kurma
Allah berfirman:
“Di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang memiliki kelopak mayang.” (Q.S. Ar-Rahman: 11)
Ibnu Katsir berkata, ”Allah menyebutkan buah kurma ini secara khusus karena kemuliaan dan manfaat yang dikandungnya, baik ketika masih basah maupun ketika telah kering.”
“Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun.” (Q.S. Qaaf: 10)
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanam-tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman di atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Ra’du: 4)
Buah kurma mengandung banyak manfaat, di antaranya kurma sangat dianjurkan bagi perempuan yang hamil dan yang akan segera melahirkan. Bahkan Allah memerintahkan Maryam binti ‘Imran untuk memakan buah kurma ini ketika ia sedang nifas.
Dokter Muhammad an-Nasimi dalam kitabnya, ath-Thibb an-Nabawy wal ‘Ilmil Hadis (Pengobatan Ala Nabi dan Ilmu Modern) mengatakan:
“Hikmah dari ayat ini secara kedokteran adalah, perempuan hamil yang akan melahirkan itu sangat membutuhkan makanan dan minuman yang kaya akan unsur gula, hal ini karena banyaknya kontraksi otot-otot rahim ketika akan mengeluarkan jabang bayi, terlebih lagi apabila hal itu membutuhkan waktu yang lama. Kandungan gula dan vitamin B1 sangat membantu untuk mengontrol laju gerak rahim dan menambah masa sistolennya (kontraksi jantung ketika darah dipompa ke pembuluh nadi). Dan kedua unsur itu banyak terkandung dalam ruthab (kurma basah). Kandungan gula dalam ruthab sangat mudah untuk dicerna dengan cepat oleh tubuh.”
Keajaiban buah kurma dari Anas r.a., beliau berkata, "Rasulullah SAW. berbuka puasa sebelum shalat dengan memakan kurma segar, kalau tidak ada maka dengan kurma kering, dan kalau tidak ada beliau meminum beberapa teguk air." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Hal ini karena kurma mengandung semua unsur makanan pokok yang dibutuhkan tubuh, yaitu gula, protein, lemak, mineral, dan vitamin.
Nabi SAW dalam beberapa hadits, menganjuran kita untuk mengkonsumsi tujuh buah kurma. Dan ternyata, tujuh buah kurma ini bila ditimbang ada sekitar 100 gram yang mengandung:
1. Gula = 75,00 gram
2. Serat selulosa = 4,00 gram
3. Air = 22,50 gram
4. Protein = 2,50 gram
5. Lemak = 2,50 gram,
6. Vitamin-vitamin:
Vitamin A = 60 IU
Vitamin B-1 = 0, 08 miligram,
Vitamin B-2 = 0, 05 miligram,
7. Mineral.
Kurma itu penuh asam mineral yang merupakan unsur terpenting sebagai makanan bagi tubuh, berupa:
Potasium = 79 miligram
Tembaga = 21 miligram
Belerang = 65 miligram
Besi = 5 miligram
Magnesium = 65 miligram
Mangan = 2 miligram
Kalsium = 65 miligram
Fosfor = 72 gram
Pada pertengahan kedua abad ke-20, para ahli mengungkapkan adanya asam amino yang lain pada kurma. Dan yang terpenting dalam asam ini adalah glutathione sebagai antioksidan. Ternyata, bagi 100 gram (7 kurma) dapat memberikan lebih dari 350 energi. Jadi, nilai gizi kurma hampir sempurna. Kurma adalah rejeki yang beruntun, datang terus-menerus, tidak terputus sebagai rejeki dari Allah SWT untuk manusia.
Kurma Menurut Tinjauan Medis dan Pengobatan
1. Dalam kurma, ditemukan beberapa bahan kimia yang memengaruhi horman oksitosik, yaitu hormon yang bercampur di dalam peranakan wanita, sehingga dapat membantu percepatan kelahiran, serta dapat mengurangi resiko pendarahan setelah melahirkan. Hormon lain dalam kurma adalah hormon untuk menghambat aktivitas hormon kelenjar gondok (glandula thyreoidea). Bahan yang lain, yaitu hormon pembangkit kelenjar susu, sehingga dapat memperlancar ASI (Air Susu Ibu).
2. Serat selulosa berguna untuk membangkitkan kerja usus, sebagai obat mujarab untuk penyembuhan yang disebabkan kurang makan. Serat ini tidak dapat dicerna oleh alat pencernaan kita, sehingga dapat menjaga tubuh supaya terhindar dari kekurangan makanan dalam perut.
3. Vitamin A diperlukan untuk pemeliharaan epitel selaput lendir, ketajaman penglihatan mata, dan pencegahan terjadinya infeksi. Oleh karena ini lah orang-orang gurun selalu mengkonsumsi kurma untuk memperkuat pendengaran dan memfokuskan penglihatan.
Manfaat lainnya dari vitamin A banyak sekali. Aktivitas kehidupan di dalam tubuh kebanyakan bertumpu pada vitamin-vitamin tersebut. Vitamin bukan lah bahan penguat tubuh, tapi vitamin diperlukan untuk menyempurnakan aktivitas kelenjar getah bening dalam tubuh dengan cara yang lebih baik.
4. Fosfor bersama kalsium diperlukan untuk membentuk tulang dan kesehatan gigi. Fosfor berguna untuk membangun aktivitas kelenjar dan mengembalikan fungsi kelenjar tubuh. Fosfor juga berperan penting sebagai nutrisi otak, sehingga bila dikonsumsi teratur, dalam jangka panjang berefek mencerdaskan otak.
5. Magnesium penting sekali bagi aktivitas kehidupan di dalam tubuh, serta untuk menjaga diri dari penyakit.
6. Besi sangat penting untuk aktivitas pembentukan hemoglobin dan zat darah merah dalam sumsum tulang. Oleh karena itu, ia diperlukan untuk melindungi manusia dari kekurangan darah.
7. Seng, diperlukan untuk mengobati penyakit sensitivitas tubuh.
8. Kurma kering mengandung aspirin (acetylsalicylic acid) alami yang dapat mengurangi rasa sakit (analgesic).
9. Kalium (potassium) signifikan untuk mengatasi kelelahan, membuat organ jantung bekerja lebih optimal, mengaktifkan kontraksi otot, dan berperan dalam pengaturan tekanan darah.taq/berbagai sumber
http://republika.co.id/berita/34252/Sehat_ala_Nabi_Kurma
Fast Food Tingkatkan Resiko Stroke
CHICAGO-- Seseorang yang sering makan di restoran fastfood berpeluang menderita stroke, kata peneliti US, Kamis (19/2).
Mereka mengatakan salah satu tempat di Texas yang tinggal berdekatan dengan sejumlah besar restoran fastfood beresiko 13 persen menderita stroke dibandingkan tetangga yang tinggal di daerah yang mempunyai sedikit restoran.
Kajian ini disampaikan dalam Konferensi Internasioanal Asosiasi Stroke Amerika. Secara tidak langsung, Ini membuktikan tinggal berdekatan dengan restoran fast food dapat menaikkan resiko terhadap stroke.
'Data tersebut menunjukkan kebenaran," kata Dr Lewis Morgenstern dari jurusan stroke Universitas Michigan yang memimpin studi tersebut.
Tetapi dia mengatakan jika kita dikelilingi oleh restoran fastfood, itu berarti kita makan lebih banyak fastfood dari yang lain. Atau itu menandakan kehidupan bertetangga yang tidak sehat.
"Komunitas tertentu jauh lebih rentan terserang stroke," kata Morgenstern. " Apakah itu disebabkan akibat konsumsi fastfood, kurangnya pilihan untuk hidup sehat, dan hal tersebut mencerminkan kebiasaan dan gaya hidup yang tidak sehat,?" katanya.
Untuk mengkaji hal tersebut, Morgenstern dan koleganya memeriksa data tersebut di Nueces County, Texas antara 1 Januari dan Juni 2003.
Selama periode tersebut, total penderita stroke isemik sebanyak 1,247. Stroke disebabkan oleh tertutupnya arteri yang menyebabkan tekanan darah di otak tinggi .
Mereka menggunakan data dari kantor sensus demografi dan sosio ekonomi sebagai pembanding jumlah restoran fastfood di sekelilingnya. Dan mereka membandingkan dengan yang di dekatnya mempunyai jumlah restoran fastfood yang lebih sedikit.
Mereka beresiko terhadap stroke satu persen untuk masing-masing restoran fast food. Restoran fast food dapat meningkatkan resiko terkena stroke.
"Kita membutuhkan target komunitas dengan lebih banyak restoran fastfood. Namun, kesehatan kita tetap membaik," kata Morgenstern.
Prior menemukan adanya hubungan antara restoran fastfood, resiko jantung dan kegemukan. Industri makanan dan kurang olahraga dapat meningkatkan resiko tersebut. Saat ini stroke merupakan pembunuh nomer 3 di United States setelah penyakit jantung dan kanker. CDC memperkirakan 780,000 Amerika akan menderita stroke tahunini. Stroke akan membunuh sedikitnya 150,000 orang dan 15 persen dari 30 persen diantaranya akan mengalami kecacatan.reuters/C85/fif
http://republika.co.id/berita/32671/Fast_Food_Tingkatkan_Resiko_Stroke
Mereka mengatakan salah satu tempat di Texas yang tinggal berdekatan dengan sejumlah besar restoran fastfood beresiko 13 persen menderita stroke dibandingkan tetangga yang tinggal di daerah yang mempunyai sedikit restoran.
Kajian ini disampaikan dalam Konferensi Internasioanal Asosiasi Stroke Amerika. Secara tidak langsung, Ini membuktikan tinggal berdekatan dengan restoran fast food dapat menaikkan resiko terhadap stroke.
'Data tersebut menunjukkan kebenaran," kata Dr Lewis Morgenstern dari jurusan stroke Universitas Michigan yang memimpin studi tersebut.
Tetapi dia mengatakan jika kita dikelilingi oleh restoran fastfood, itu berarti kita makan lebih banyak fastfood dari yang lain. Atau itu menandakan kehidupan bertetangga yang tidak sehat.
"Komunitas tertentu jauh lebih rentan terserang stroke," kata Morgenstern. " Apakah itu disebabkan akibat konsumsi fastfood, kurangnya pilihan untuk hidup sehat, dan hal tersebut mencerminkan kebiasaan dan gaya hidup yang tidak sehat,?" katanya.
Untuk mengkaji hal tersebut, Morgenstern dan koleganya memeriksa data tersebut di Nueces County, Texas antara 1 Januari dan Juni 2003.
Selama periode tersebut, total penderita stroke isemik sebanyak 1,247. Stroke disebabkan oleh tertutupnya arteri yang menyebabkan tekanan darah di otak tinggi .
Mereka menggunakan data dari kantor sensus demografi dan sosio ekonomi sebagai pembanding jumlah restoran fastfood di sekelilingnya. Dan mereka membandingkan dengan yang di dekatnya mempunyai jumlah restoran fastfood yang lebih sedikit.
Mereka beresiko terhadap stroke satu persen untuk masing-masing restoran fast food. Restoran fast food dapat meningkatkan resiko terkena stroke.
"Kita membutuhkan target komunitas dengan lebih banyak restoran fastfood. Namun, kesehatan kita tetap membaik," kata Morgenstern.
Prior menemukan adanya hubungan antara restoran fastfood, resiko jantung dan kegemukan. Industri makanan dan kurang olahraga dapat meningkatkan resiko tersebut. Saat ini stroke merupakan pembunuh nomer 3 di United States setelah penyakit jantung dan kanker. CDC memperkirakan 780,000 Amerika akan menderita stroke tahunini. Stroke akan membunuh sedikitnya 150,000 orang dan 15 persen dari 30 persen diantaranya akan mengalami kecacatan.reuters/C85/fif
http://republika.co.id/berita/32671/Fast_Food_Tingkatkan_Resiko_Stroke
Asap Rokok Ancam Kesehatan Anak
JAKARTA Pernah berfikir bahwa sekali asap rokok bebas ke udara, maka tak ada lagi bahaya? Enyahkan anggapan itu mulai dari sekarang karena terbukti zat-zat berbahaya yang lepas ke udara akan menempel ke baju, rambut maupun anggota tubuh lainnya. Zat-zat berbahaya inilah yang kemudian menjadi pencetus batuk kronik pada anak.
Zat-zat berbahaya tersebut antara karbon monoksida (co) yang terdapat pada lapisan kertas rokok dan merupakan pencetus gangguan pernafasan. Hipereaktivitas atau sensitif yang berlebih pada anak diduga akibat zat berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran rokok dan terbawa oleh ayah atau anggota keluarga yang merokok.
"Dampak negatif rokok tidak hanya pada saat rokok itu dibakar, tapi juga partikel berbahaya yang menempel pada ayah dan dibawa pulang kerumah," ungkap Menaldi Rasmin, pemerhati masalah rokok dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ditemui Republika Online.
Menaldi memaparkan zat berbahaya yang lepas di udara tidak serta merta menghilang. Zat kimia tersebut akan tetap bertebaran di udara dalam waktu yang relatif lama. Seperti yang dijelaskan Menaldi pajanan yang cukup lama dengan zat berbahaya dari pembakaran rokok bisa menjadi pencetus batuk yang lama pada anak.
Kondisi tersebut dijelaskan Menaldi karena sistem pernafasan pada anak sangat sensitif terhadap partikel kecil. Dari data yang diperolehnya 50% anak yang sering batuk disebabkan oleh pajanan rokok ayah atau keluarganya.
Terapi yang paling tepat bagi anak penderita batuk kronis adalah menjauhkannya agar tak terpapar dengan bahan-bahan berbahaya tersebut. Salah satunya tentu dengan tidak mendekatkan anak dengan perokok.
"Berhenti merokok sangat membantu anak terhindar dari batuk yang berkepanjangan. Kemungkinannya mencapai 67 persen," imbuh Menaldi.
Gejala Hipereaktifitas atau hipersensitifitas pada anak antara lain lebih cepat batuk meski tidak pada kondisi terinfeksi atau daya tahan tubuhnya lemah. Batuk yang dialami pun relatif lama dan tidak berdahak.
Meski setiap anak memiliki kecenderungan sensitif terhadap asap rokok, anak yang terlahir dari ibu perokok memiliki resiko lebih tinggi hingga 50 persen dari ibu yang tidak merokok.
Selain batuk yang lama asap rokok juga bisa menyebabkan anak menjadi lebih cepat merasa letih dan pasif. Kondisi ini disebabkan kacaunya sistem pernafasan sehingga asupan oksigen ke otak berkurang. Kurangnya oksigen dalam tubuh menyebabkan metabolisme tubuh anak terganggu dengan begitu energi anak juga berkurang.
"Meski banyak cara menguatkan daya tahan tubuh anak namun cara yang paling baik adalah dengan tidak merokok dan menjauhkan anak dari asap maupun zat berbahaya dari rokok," pungkas Menaldi./cr1/itz
http://republika.co.id/berita/35245/Asap_Rokok_Ancam_Kesehatan_Anak
Zat-zat berbahaya tersebut antara karbon monoksida (co) yang terdapat pada lapisan kertas rokok dan merupakan pencetus gangguan pernafasan. Hipereaktivitas atau sensitif yang berlebih pada anak diduga akibat zat berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran rokok dan terbawa oleh ayah atau anggota keluarga yang merokok.
"Dampak negatif rokok tidak hanya pada saat rokok itu dibakar, tapi juga partikel berbahaya yang menempel pada ayah dan dibawa pulang kerumah," ungkap Menaldi Rasmin, pemerhati masalah rokok dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ditemui Republika Online.
Menaldi memaparkan zat berbahaya yang lepas di udara tidak serta merta menghilang. Zat kimia tersebut akan tetap bertebaran di udara dalam waktu yang relatif lama. Seperti yang dijelaskan Menaldi pajanan yang cukup lama dengan zat berbahaya dari pembakaran rokok bisa menjadi pencetus batuk yang lama pada anak.
Kondisi tersebut dijelaskan Menaldi karena sistem pernafasan pada anak sangat sensitif terhadap partikel kecil. Dari data yang diperolehnya 50% anak yang sering batuk disebabkan oleh pajanan rokok ayah atau keluarganya.
Terapi yang paling tepat bagi anak penderita batuk kronis adalah menjauhkannya agar tak terpapar dengan bahan-bahan berbahaya tersebut. Salah satunya tentu dengan tidak mendekatkan anak dengan perokok.
"Berhenti merokok sangat membantu anak terhindar dari batuk yang berkepanjangan. Kemungkinannya mencapai 67 persen," imbuh Menaldi.
Gejala Hipereaktifitas atau hipersensitifitas pada anak antara lain lebih cepat batuk meski tidak pada kondisi terinfeksi atau daya tahan tubuhnya lemah. Batuk yang dialami pun relatif lama dan tidak berdahak.
Meski setiap anak memiliki kecenderungan sensitif terhadap asap rokok, anak yang terlahir dari ibu perokok memiliki resiko lebih tinggi hingga 50 persen dari ibu yang tidak merokok.
Selain batuk yang lama asap rokok juga bisa menyebabkan anak menjadi lebih cepat merasa letih dan pasif. Kondisi ini disebabkan kacaunya sistem pernafasan sehingga asupan oksigen ke otak berkurang. Kurangnya oksigen dalam tubuh menyebabkan metabolisme tubuh anak terganggu dengan begitu energi anak juga berkurang.
"Meski banyak cara menguatkan daya tahan tubuh anak namun cara yang paling baik adalah dengan tidak merokok dan menjauhkan anak dari asap maupun zat berbahaya dari rokok," pungkas Menaldi./cr1/itz
http://republika.co.id/berita/35245/Asap_Rokok_Ancam_Kesehatan_Anak
Sunat Kurangi Risiko Terinfeksi HIV
JAKARTA -- Sunat atau proses pemotongan pada kulit luar ujung (kepala) penis dapat mengurangi risiko terinfeksi HIV (human immunodeficiency virus) karena bagian kulit ujung penis yang lembab dan basah dapat menjadi tempat yang ideal bagi virus HIV hidup.
"Negara Asia dan Afrika dengan prevalensi populasi laki-laki disunat kurang dari 20 persen mempunyai prevalensi HIV beberapa kalu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang populasi laki-laki disunat mencapai lebih dari 80 persen," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma Buana dr Adi Sasongko dalam diskusi tentang kesehatan yang berlangsung di Jakarta, Selasa.
Adi Sasongko menambahkan beberapa penyebab laki-laki yang tidak disunat lebih banyak terinfeksi HIV karena mukosa kulup (kulit ujung penis-red) mengandung banyak sel Langerhans sehingga lebih rawan teronfeksi HIV.
Selain itu, mukosa tersebut lebih mudah lecet atau terluka bila tidak dilakukan sunat. Luka atau lecet itu bisa menjadi pintu masuknya virus HIV.
"Juga kondisi lingkungan di lipatan kulup menjadi tempat yang kondusif untuk bertahannya HIV," kata Adi dalam acara yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Ditambahkannya, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, risiko penularan HIV lebih rendah pada laki-laki yang disunat dibandingkan dengan yang tidak untuk di Afrika Selatan 76 persen lebih rendah, di Kenya 60 persen lebih rendah dan Uganda 55 persen lebih rendah.
Selain mengurangi risiko terinfeksi HIV, maka sunat juga dapat meningkatkan kebersihan penis sehingga mengurangi potensi penularan penyakit menular seksual lainnya.
Namun demikian, Adi mengingatkan sunat bukanlah langkah pencegahan penularan HIV karena ada hal lain yang harus dilakukan seperti menggunakan kondom saat berhubungan bila menyadari memiliki risiko tinggi tertular HIV serta upaya-upaya pencegahan lainnya.
Meski menyatakan perlunya mengkampanyekan sunat, namun Adi mengingatkan kampanye tersebut dilakukan dengan hati-hati. Ia menambahkan, selama ini sunat identik dengan salah satu pelaksanaan ajaran Islam dan bila pola kampanye salah, bisa disalahartikan oleh pemeluk agama lainnya.
"Tapi yang harus kita ketahui, di Amerika Serikat dan Eropa sendiri, praktik sunat banyak dilakukan, tentunya berangkat dari alasan kesehatan," paparnya.
Sementara itu menanggapi pro dan kontra praktik sunat bagi perempuan, Adi mengatakan sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di Afrika.
"Kalau di Afrika praktiknya ada yang hingga memotong klitoris dan kerap dilakukan dengan metoda yang tidak higienis sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi. Di Indonesia, di beberapa daerah, dilakukan sunat pada perempuan karena tradisi, biasanya hanya sedikit melukai pada klitoris," katanya.
Meski demikian, papar Adi, secara pribadi ia menilai sebaiknya sunat pada perempuan tidak dilakukan karena tidak memberikan pengaruh apa pun terhadap peningkatan kesehatan perempuan. - ant/ahi
http://republika.co.id/berita/41261/Sunat_Kurangi_Risiko_Terinfeksi_HIV
"Negara Asia dan Afrika dengan prevalensi populasi laki-laki disunat kurang dari 20 persen mempunyai prevalensi HIV beberapa kalu lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang populasi laki-laki disunat mencapai lebih dari 80 persen," kata Direktur Pelayanan Kesehatan Yayasan Kusuma Buana dr Adi Sasongko dalam diskusi tentang kesehatan yang berlangsung di Jakarta, Selasa.
Adi Sasongko menambahkan beberapa penyebab laki-laki yang tidak disunat lebih banyak terinfeksi HIV karena mukosa kulup (kulit ujung penis-red) mengandung banyak sel Langerhans sehingga lebih rawan teronfeksi HIV.
Selain itu, mukosa tersebut lebih mudah lecet atau terluka bila tidak dilakukan sunat. Luka atau lecet itu bisa menjadi pintu masuknya virus HIV.
"Juga kondisi lingkungan di lipatan kulup menjadi tempat yang kondusif untuk bertahannya HIV," kata Adi dalam acara yang diselenggarakan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Ditambahkannya, berdasarkan penelitian sejumlah ahli, risiko penularan HIV lebih rendah pada laki-laki yang disunat dibandingkan dengan yang tidak untuk di Afrika Selatan 76 persen lebih rendah, di Kenya 60 persen lebih rendah dan Uganda 55 persen lebih rendah.
Selain mengurangi risiko terinfeksi HIV, maka sunat juga dapat meningkatkan kebersihan penis sehingga mengurangi potensi penularan penyakit menular seksual lainnya.
Namun demikian, Adi mengingatkan sunat bukanlah langkah pencegahan penularan HIV karena ada hal lain yang harus dilakukan seperti menggunakan kondom saat berhubungan bila menyadari memiliki risiko tinggi tertular HIV serta upaya-upaya pencegahan lainnya.
Meski menyatakan perlunya mengkampanyekan sunat, namun Adi mengingatkan kampanye tersebut dilakukan dengan hati-hati. Ia menambahkan, selama ini sunat identik dengan salah satu pelaksanaan ajaran Islam dan bila pola kampanye salah, bisa disalahartikan oleh pemeluk agama lainnya.
"Tapi yang harus kita ketahui, di Amerika Serikat dan Eropa sendiri, praktik sunat banyak dilakukan, tentunya berangkat dari alasan kesehatan," paparnya.
Sementara itu menanggapi pro dan kontra praktik sunat bagi perempuan, Adi mengatakan sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia berbeda dengan yang dilakukan di Afrika.
"Kalau di Afrika praktiknya ada yang hingga memotong klitoris dan kerap dilakukan dengan metoda yang tidak higienis sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi. Di Indonesia, di beberapa daerah, dilakukan sunat pada perempuan karena tradisi, biasanya hanya sedikit melukai pada klitoris," katanya.
Meski demikian, papar Adi, secara pribadi ia menilai sebaiknya sunat pada perempuan tidak dilakukan karena tidak memberikan pengaruh apa pun terhadap peningkatan kesehatan perempuan. - ant/ahi
http://republika.co.id/berita/41261/Sunat_Kurangi_Risiko_Terinfeksi_HIV
Sikat Gigi dari Bawah ke Atas
JAKARTA-- Kesehatan gigi dan mulut masih sering menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia. Meski tidak menyebabkan kematian, penyakit gigi dan mulut dapat mempengaruhi dan memperparah penyakit sistemik seperti diabetes dan jantung koroner.
Data dari The World Oral Health Report menunjukan, penyakit gigi dan mulut merupakan peringkat ke-4 penyakit termahal dalam perawatannya. Artinya selain menurunkan produktifitas, penyakit gigi dan mulut juga akan menguras pengeluaran untuk pengobatannya.
Dokter gigi dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Trisakti, drg. Tri Erri Astoeti mengatakan prevalensi penyakit gigi dan mulut masyarakat Indonesia mencapai 90,5 %. "Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi ke enam yang dikeluhkan masyarakat," jelas Erri pada workshop kesehatan gigi dan mulut di Jakarta, Jumat, baru-baru ini.
Kondisi tersebut, dikatakan Erri karena masih banyak masyarakat yang kurang memahami tentang kesehatan gigi. Sebanyak 61,5 % masyarakat menyikat gigi kurang sesuai anjuran dan bahkan 16,6 % tidak sikat gigi. " Kebanyakan masyarakat menyikat gigi dengan arah yang salah, yaitu dari atas ke bawah atau ada yang horizontal. Itu justru akan mendorong sisa makanan ke sela gigi dan gusi," tutur Erri.
Erri menjelaskan cara menyikat gigi yang benar adalah mulai dari gusi lalu permukaan gigi ke atas. Jangan lupa juga menyikat gigi bagia n dalam terutama geraham bawah, karena saliva atau air liur seringkali menyebabkan karang pada gigi.
Selain itu jangan dibiasakan menggunakan tusuk gigi karena tusuk gigi justru akan melukai gusi dan membuat lapisan antara gusi dan gigi terkikis. "Sebaiknya gunakan benang gigi. Benang gigi dapat mengangkat sisa makanan yang ada di sela gigi," imbuh Erri.
Jangan lupa juga membersihkan lidah, karena pada pori-pori lidah terdapat banyak sisa makanan. "Cukup dengan menyapu lidah menggunakan bulu sikat gigi secara perlahan," ujar Erri.
Dengan mengetahui cara menyikat gigi dan membersihkan setiap bagian mulut dengan benar, maka masalah gigi pun dapat dicegah. (cr1/rin)
http://republika.co.id/berita/60390/Sikat_Gigi_dari_Bawah_ke_Atas
Data dari The World Oral Health Report menunjukan, penyakit gigi dan mulut merupakan peringkat ke-4 penyakit termahal dalam perawatannya. Artinya selain menurunkan produktifitas, penyakit gigi dan mulut juga akan menguras pengeluaran untuk pengobatannya.
Dokter gigi dari Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Trisakti, drg. Tri Erri Astoeti mengatakan prevalensi penyakit gigi dan mulut masyarakat Indonesia mencapai 90,5 %. "Penyakit gigi dan mulut merupakan penyakit tertinggi ke enam yang dikeluhkan masyarakat," jelas Erri pada workshop kesehatan gigi dan mulut di Jakarta, Jumat, baru-baru ini.
Kondisi tersebut, dikatakan Erri karena masih banyak masyarakat yang kurang memahami tentang kesehatan gigi. Sebanyak 61,5 % masyarakat menyikat gigi kurang sesuai anjuran dan bahkan 16,6 % tidak sikat gigi. " Kebanyakan masyarakat menyikat gigi dengan arah yang salah, yaitu dari atas ke bawah atau ada yang horizontal. Itu justru akan mendorong sisa makanan ke sela gigi dan gusi," tutur Erri.
Erri menjelaskan cara menyikat gigi yang benar adalah mulai dari gusi lalu permukaan gigi ke atas. Jangan lupa juga menyikat gigi bagia n dalam terutama geraham bawah, karena saliva atau air liur seringkali menyebabkan karang pada gigi.
Selain itu jangan dibiasakan menggunakan tusuk gigi karena tusuk gigi justru akan melukai gusi dan membuat lapisan antara gusi dan gigi terkikis. "Sebaiknya gunakan benang gigi. Benang gigi dapat mengangkat sisa makanan yang ada di sela gigi," imbuh Erri.
Jangan lupa juga membersihkan lidah, karena pada pori-pori lidah terdapat banyak sisa makanan. "Cukup dengan menyapu lidah menggunakan bulu sikat gigi secara perlahan," ujar Erri.
Dengan mengetahui cara menyikat gigi dan membersihkan setiap bagian mulut dengan benar, maka masalah gigi pun dapat dicegah. (cr1/rin)
http://republika.co.id/berita/60390/Sikat_Gigi_dari_Bawah_ke_Atas
Luka di Kaki Berujung Amputasi
Penyakit diabetes atau dikenal dengan penyakit kencing manis pada masyarakat awam, seringkali menimbulkan komplikasi pada berbagai bagian tubuh. Salah satunya, bagian kaki terutama jari kaki yang mudah mengalami luka.
Diabetes UK kini sedang giat berkampanye untuk meningkatan kewaspadaan perawatan kaki bagi penderita diabetes dalam Diabetes Week yang pekan lalu. Diungkapkan lembaga tersebut, sekitar 240 orang penderita diabetes di seluruh kota Wales, Inggris, harus diamputasi setiap tahunnnya seperti dilansir milfordmercury.co.uk, baru-baru ini.
Salah seorang penderita diabetes yang harus diamputasi, Rowland Rowlands yang mengidap diabetes tipe 2 dan harus diamputasi ibu jari kakinya dua tahun yang lalu. Dia memutuskan untuk membagi kisahnya untuk memperingatkan para penderita diabetes lainnya.
Pria berusia 53 tahun itu mengalami luka akibat menginjak garpu ketika berjalan tanpa alas kaki di dapurnya. "Seringkali kita diperingatkan berulang-ulang agar tidak berjalan tanpa alas kaki. Tapi, saya berjalan di dapur tanpa alas kaki dan menginjak garpu," terangnya.
Dia mengaku, awalnya tidak merasakan apa-apa. Rowland baru mengetahui kakinya berdarah sekitar sepuluh menit kemudian ketika melihat darah di lantai. Lukanya sangat kecil, bahkan dia harus menggunakan kaca pembesar untuk melihatnya.
"Saya tidak berpikir apa-apa, namun beberapa hari kemudian luka tersebut tetap merah. Sehingga saya memutuskan untuk pergi ke dokter yang kemudian memberi saya obat antibiotik," ungkapnya.
Kemudian, Rowland yang telah didiagnosa diabetes sepuluh tahun lalu, pergi berlibur. Namun dia merasa mulai tidak enak badan dan melihat ibu jari kakinya telah berwarna kehitaman. Merasa kondisinya semakin buruk, Rowland memutuskan kembali ke rumah lebih cepat dari liburannya. Kemudian lukanya didiagnosa semakin memburuk.
Keesokan hari, rumah sakit memintanya untuk menyetujui tindakan amputasi pada ibu jarinya. "Pada saat itu saya merasa terlalu sakit untuk memahami apa yang terjadi," ungkapnya.
Selama dua tahun setelah amputasi, Rowland masih harus berlatih keseimbangan dan baru saja selesai untuk cek teratur per dua minggu ke ahli penyakit kaki atau podiatrist. Dia juga harus menggunakan sepatu boot khusus untuk menunjang keseimbangannya.
Tidak Terasa
Sirkulasi tubuh yang buruk dan kehilangan rasa secara ekstrim dapat membuat luka serta borok pada kaki tidak dirasakan oleh penderita diabetes. Jika infeksi tidak bisa dikontrol atau kondisi semakin memburuk, biasanya dokter merekomendasikan untuk mengamputasi anggota tubuh yang terkena tersebut.
Menurut associate Professor bagian bedah di Johns Hopkins di Amerika Serikat, Stanley Minken M.D, pasien bisa saja terkejut oleh perasaan tak berdaya pada saat kehilangan anggota tubuh dan mobilitas. "Namun itu merupakan ketegangan yang berlebihan, terutama jika melihat kenyataannya," ujarnya dikutip dari hopkinshospital.org.
Setiap tahun di Amerika Serikat terdapat 86.000 amputasi yang terkait dengan diabetes, sebagai salah satu penyakit yang komplikasinya sangat ditakuti. Seringkali amputasi terkait diabetes sangat terbatas pada bagian dari ibu jari, ibu jari atau sebagian dari jari kaki.
Pada situasi tersebut, pasien biasanya dapat kembali beraktivitas seperti biasa dan mengenakan alas kaki biasa. Bahkan orang yagn harus diamputasi dibawah lutut atau diatas lutut bisa tetap mempertahankan mobilitas, meskipun tergantung dari keinginan dan kemampuan untuk mengikuti program pemulihan yang dapat membantu. (rin)
http://republika.co.id/berita/57936/Luka_di_Kaki_Berujung_Amputasi
Diabetes UK kini sedang giat berkampanye untuk meningkatan kewaspadaan perawatan kaki bagi penderita diabetes dalam Diabetes Week yang pekan lalu. Diungkapkan lembaga tersebut, sekitar 240 orang penderita diabetes di seluruh kota Wales, Inggris, harus diamputasi setiap tahunnnya seperti dilansir milfordmercury.co.uk, baru-baru ini.
Salah seorang penderita diabetes yang harus diamputasi, Rowland Rowlands yang mengidap diabetes tipe 2 dan harus diamputasi ibu jari kakinya dua tahun yang lalu. Dia memutuskan untuk membagi kisahnya untuk memperingatkan para penderita diabetes lainnya.
Pria berusia 53 tahun itu mengalami luka akibat menginjak garpu ketika berjalan tanpa alas kaki di dapurnya. "Seringkali kita diperingatkan berulang-ulang agar tidak berjalan tanpa alas kaki. Tapi, saya berjalan di dapur tanpa alas kaki dan menginjak garpu," terangnya.
Dia mengaku, awalnya tidak merasakan apa-apa. Rowland baru mengetahui kakinya berdarah sekitar sepuluh menit kemudian ketika melihat darah di lantai. Lukanya sangat kecil, bahkan dia harus menggunakan kaca pembesar untuk melihatnya.
"Saya tidak berpikir apa-apa, namun beberapa hari kemudian luka tersebut tetap merah. Sehingga saya memutuskan untuk pergi ke dokter yang kemudian memberi saya obat antibiotik," ungkapnya.
Kemudian, Rowland yang telah didiagnosa diabetes sepuluh tahun lalu, pergi berlibur. Namun dia merasa mulai tidak enak badan dan melihat ibu jari kakinya telah berwarna kehitaman. Merasa kondisinya semakin buruk, Rowland memutuskan kembali ke rumah lebih cepat dari liburannya. Kemudian lukanya didiagnosa semakin memburuk.
Keesokan hari, rumah sakit memintanya untuk menyetujui tindakan amputasi pada ibu jarinya. "Pada saat itu saya merasa terlalu sakit untuk memahami apa yang terjadi," ungkapnya.
Selama dua tahun setelah amputasi, Rowland masih harus berlatih keseimbangan dan baru saja selesai untuk cek teratur per dua minggu ke ahli penyakit kaki atau podiatrist. Dia juga harus menggunakan sepatu boot khusus untuk menunjang keseimbangannya.
Tidak Terasa
Sirkulasi tubuh yang buruk dan kehilangan rasa secara ekstrim dapat membuat luka serta borok pada kaki tidak dirasakan oleh penderita diabetes. Jika infeksi tidak bisa dikontrol atau kondisi semakin memburuk, biasanya dokter merekomendasikan untuk mengamputasi anggota tubuh yang terkena tersebut.
Menurut associate Professor bagian bedah di Johns Hopkins di Amerika Serikat, Stanley Minken M.D, pasien bisa saja terkejut oleh perasaan tak berdaya pada saat kehilangan anggota tubuh dan mobilitas. "Namun itu merupakan ketegangan yang berlebihan, terutama jika melihat kenyataannya," ujarnya dikutip dari hopkinshospital.org.
Setiap tahun di Amerika Serikat terdapat 86.000 amputasi yang terkait dengan diabetes, sebagai salah satu penyakit yang komplikasinya sangat ditakuti. Seringkali amputasi terkait diabetes sangat terbatas pada bagian dari ibu jari, ibu jari atau sebagian dari jari kaki.
Pada situasi tersebut, pasien biasanya dapat kembali beraktivitas seperti biasa dan mengenakan alas kaki biasa. Bahkan orang yagn harus diamputasi dibawah lutut atau diatas lutut bisa tetap mempertahankan mobilitas, meskipun tergantung dari keinginan dan kemampuan untuk mengikuti program pemulihan yang dapat membantu. (rin)
http://republika.co.id/berita/57936/Luka_di_Kaki_Berujung_Amputasi
Waspada Intaian Kanker Serviks
JAKARTA-- Organ perempuan secara medis memang rentan terhadap penyakit. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah kanker serviks atau kanker leher rahim. Secara medis kanker serviks dikenal sebagai penyakit yang tidak mudah terdeteksi, lebih tepat jika disebut diam-diam menghanyutkan.
Seperti halnya jenis kanker lain, keberadaan atau gejala munculnya kanker kerap menyerupai penyakit biasa. Misalnya, tanda pendarahan pada gejala pada kanker serviks tak berbeda ketika perempuan akan mengalami datang bulan, nyeri pinggul atau mirip dengan gejala keputihan yang mengeluarkan bau tidak sedap serta sulit buang air.
Gejala-gejala seperti itu kerap kali diacuhkan atau dianggap gejala biasa. Sikap waspada dan tanggap merupakan langkah yang dianjurkan dunia medis. Menurut Ahli Ginekolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Taufan Widya Utami.
Dia mengatakan, kebanyakan infeksi virus HPV (human papillomavirus) yaitu virus pemicu kanker serviks, ketika masuk stadium awal memang disertai tanpa gejala. Gejala yang dimaksud tak jauh berbeda dengan gejala umum perempuan yang memasuki usia pubertas.
"Biasanya yang telah terkena infeksi virus akan sembuh dengan sendirinya padaha 10% virus masih tertinggal di vagina perempuan dan diam-diam akan berkembang menjadi kanker serviks," tegasnya saat berbicara dalam seminar Kanker Serviks yang diselenggarakan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dan General Electric Network Women di Jakarta, Selasa (26/5).
Perempuan dikatakan Taufan, terkadang kurang tanggap dengan kondisi seperti itu. Kata dia, 80% wanita akan terkena virus HPV untuk semua tipe virus baik 16,18,31 dan 52 dan 50 % dari perempuan yang terinfeksi virus berpotensi terkena kanker serviks.
Namun, Taufan tidak sepenuhnya menyalahkan kurang tanggapnya perempuan terhadap kanker serviks. Permasalahan kekurangan informasi, ekonomis dan budaya menjadi ganjalan terbesar perempuan Indonesia ketika berhadapan dengan kanker.
Meski perkembangan terakhir, kata Taufan yang merujuk pada WHO (Badan Kesehatan Dunia), di dunia setiap dua menit perempuan meninggal karena kanker serviks sedangkan di Indonesia, setiap sejam perempuan meninggal karena kanker serviks.
Langkah Pencegahan
Data terakhir Indonesia memang belum bisa menunjukan secara konkrit berapa persen sumbangsih kanker serviks terhadap tingkat kematian di Indonesia, Taufan menyarankan agar perempuan Indonesia minimal melakukan dua tahap pencegahan yakni primer dan sekunder.
Pencegahan primer yaitu aktif menggali informasi dan keberanian untuk eksplorasi kesehatan reproduksi. "Kadangkan, perempuan Indonesia malu untuk hal-hal seperti itu. Karena itu penggiatan seminar dan diskusi tentang kesehatan reproduksi perlu dilakukan," tuturnya.
Kemudian, pencegahan sekunder yaitu melakukan pelatihan dan perawatan melalui vaksin dan skrining baik menggunakan metode IFA (Internal Visual with Acitidi Acid atau pencukaan) atau Pap Smear (metode pengambilan sel dari mulut rahim yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop).
Taufan menuturkan, hanya sekitar 70-80% perempuan Indonesia yang melakukan skrining terhadap organ kelaminya. Padahal untuk metode IFA terhitung murah bahkan tanpa perlu rujukan dari dokter, perempuan Indonesia bisa mengiuti metode ini.
Untuk penggunaan metode Pap Smear memang sedikit lebih mahal karena kerumitan tes yang dilakukan. Tapi, Taufan merekomendasikan agar perempuan minimal bisa melakukan tes setahun sekali."Skrining mempunyai manfaat yaitu mengurangi 5 kali lipat potensi kanker," ujarnya.
Terkait dengan tingkat akurasi metode medis yang cenderung tidak 100% diakui Taufan memang berpotensi masalah. Namun ia menggaris bawahi, kalau yang mengikuti metode Pap Smear saja dikatakan negatif masih potensi terkena kanker serviks bagaimana yang tidak.
"Metode Pap Smear memang memiliki kelemahan, karena pada saat pengambilan sampel sel yang menjadi contoh kemudian direndam dalam alkohol, penggunaan kadar alkohol turut berpengaruh. Demikian ketika mengirim spesimen juga menjadi penyebab hasil deteksi negatif palsu," tuturnya.
Namun, Taufan menegaskan, tidak ada salahnya untuk melakukan skrining, ketika merasakan suatu hal kecil atau sepele diharapkan sikap tanggap perempuan untuk segera memeriksakan.
Selain metode Pap Smear atau IFA juga bisa melakukan pemberian vaksin kanker serviks. Pemberian vaksin dimaksudkan untuk menciptakan anti bodi dalam organ reproduksi wanita. Seperti diketahui kondisi organ reproduksi wanita memang rentan terhadap serangan virus dan bakteri.
Jika sejumlah bakteri, kuman, dan virus berada dalam jumlah seimbang tidak masalah. Namun, ketika perempuan mengalami stress, infeksi melalui pasangan dan gaya hidup yang tidak sehat bisa mengacaukan kesimbangan "penghuni" organ reproduksi perempuan.
Indonesia, diakui Taufan, belumlah setanggap negara barat untuk urusan vaksin. Berbagai panduan atau rujukan memang telah dicanangkan oleh Ikatan dokter Indonesia dan organisasi kesehatan lain untuk memberikan vaksin pencegah kanker serviks untuk rentang usia 10-55 tahun. Namun, pemerintah belum bisa memberikan vaksin secara cuma seperti vaksin lain. Padahal di Eropa dan AS, pemerintah masing-masing negara mewajibkan vaksin dengan harga relatif terjangkau masyarakat.
Jadwal pemberian vaksin, paparnya, diberikan bulan pertama, bulan ketiga dan bilan keenam. Disarankan pemberian vaksin dilakukan sebelum melakukan hubungan suami-istri atau diberikan ketika belum terinfeksi.
"Pemberian vaksin efektif melindungi tubuh hingga 5.5 tahun, tapi diingat meski telah meminum vaksi belum tentu menghilangkan potensi kanker serviks. Vaksin apapun itu belum tentu menghilangkan potensi penyakit, vaksin hanya bersifat mencegah bukan menghilangkan," tegas Dr. Taufan.
"Perlu diperhatikan, untuk remaja perempuan hanya diperlukan pemberian vaksin saja. Untuk metode Pap Smear tidak boleh dilakukan untuk remaja perempuan yang belum menikah atau berhubungan suami istri, tidak boleh dilakukan ketika berdarah dan dilakukan setahun sekali bila diperoleh hasil negatif," ucapnya.
Masalah kesehatan memang belum seluruhnya diperhatikan pemerintah. Masalah vaksin dan skrining menjadi bukti kurangnya pemerintah terhadap permasalahan tanggap terhadap organ reproduksi perempuan. AKibatnya, kemudahan untuk mendapatkan jaminan kebutuhan vaksin menjadi semu.
Menurut Taufan, pemerintah belum bisa memberikan subsidi. Disamping itu, penelitian HPV penyebab kanker seviks masih terus dilakukan. Die mengatakan, kelemahan pemerintah seharusnya ditutup dengan sikap tanggap masyarakat terhadap keberadaan kanker serviks sehingga potensi terkena kanker serviks bisa terminimalisir. (cr2/rin)
http://republika.co.id/berita/52678/Waspada_Intaian_Kanker_Serviks
Seperti halnya jenis kanker lain, keberadaan atau gejala munculnya kanker kerap menyerupai penyakit biasa. Misalnya, tanda pendarahan pada gejala pada kanker serviks tak berbeda ketika perempuan akan mengalami datang bulan, nyeri pinggul atau mirip dengan gejala keputihan yang mengeluarkan bau tidak sedap serta sulit buang air.
Gejala-gejala seperti itu kerap kali diacuhkan atau dianggap gejala biasa. Sikap waspada dan tanggap merupakan langkah yang dianjurkan dunia medis. Menurut Ahli Ginekolog Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Taufan Widya Utami.
Dia mengatakan, kebanyakan infeksi virus HPV (human papillomavirus) yaitu virus pemicu kanker serviks, ketika masuk stadium awal memang disertai tanpa gejala. Gejala yang dimaksud tak jauh berbeda dengan gejala umum perempuan yang memasuki usia pubertas.
"Biasanya yang telah terkena infeksi virus akan sembuh dengan sendirinya padaha 10% virus masih tertinggal di vagina perempuan dan diam-diam akan berkembang menjadi kanker serviks," tegasnya saat berbicara dalam seminar Kanker Serviks yang diselenggarakan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dan General Electric Network Women di Jakarta, Selasa (26/5).
Perempuan dikatakan Taufan, terkadang kurang tanggap dengan kondisi seperti itu. Kata dia, 80% wanita akan terkena virus HPV untuk semua tipe virus baik 16,18,31 dan 52 dan 50 % dari perempuan yang terinfeksi virus berpotensi terkena kanker serviks.
Namun, Taufan tidak sepenuhnya menyalahkan kurang tanggapnya perempuan terhadap kanker serviks. Permasalahan kekurangan informasi, ekonomis dan budaya menjadi ganjalan terbesar perempuan Indonesia ketika berhadapan dengan kanker.
Meski perkembangan terakhir, kata Taufan yang merujuk pada WHO (Badan Kesehatan Dunia), di dunia setiap dua menit perempuan meninggal karena kanker serviks sedangkan di Indonesia, setiap sejam perempuan meninggal karena kanker serviks.
Langkah Pencegahan
Data terakhir Indonesia memang belum bisa menunjukan secara konkrit berapa persen sumbangsih kanker serviks terhadap tingkat kematian di Indonesia, Taufan menyarankan agar perempuan Indonesia minimal melakukan dua tahap pencegahan yakni primer dan sekunder.
Pencegahan primer yaitu aktif menggali informasi dan keberanian untuk eksplorasi kesehatan reproduksi. "Kadangkan, perempuan Indonesia malu untuk hal-hal seperti itu. Karena itu penggiatan seminar dan diskusi tentang kesehatan reproduksi perlu dilakukan," tuturnya.
Kemudian, pencegahan sekunder yaitu melakukan pelatihan dan perawatan melalui vaksin dan skrining baik menggunakan metode IFA (Internal Visual with Acitidi Acid atau pencukaan) atau Pap Smear (metode pengambilan sel dari mulut rahim yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop).
Taufan menuturkan, hanya sekitar 70-80% perempuan Indonesia yang melakukan skrining terhadap organ kelaminya. Padahal untuk metode IFA terhitung murah bahkan tanpa perlu rujukan dari dokter, perempuan Indonesia bisa mengiuti metode ini.
Untuk penggunaan metode Pap Smear memang sedikit lebih mahal karena kerumitan tes yang dilakukan. Tapi, Taufan merekomendasikan agar perempuan minimal bisa melakukan tes setahun sekali."Skrining mempunyai manfaat yaitu mengurangi 5 kali lipat potensi kanker," ujarnya.
Terkait dengan tingkat akurasi metode medis yang cenderung tidak 100% diakui Taufan memang berpotensi masalah. Namun ia menggaris bawahi, kalau yang mengikuti metode Pap Smear saja dikatakan negatif masih potensi terkena kanker serviks bagaimana yang tidak.
"Metode Pap Smear memang memiliki kelemahan, karena pada saat pengambilan sampel sel yang menjadi contoh kemudian direndam dalam alkohol, penggunaan kadar alkohol turut berpengaruh. Demikian ketika mengirim spesimen juga menjadi penyebab hasil deteksi negatif palsu," tuturnya.
Namun, Taufan menegaskan, tidak ada salahnya untuk melakukan skrining, ketika merasakan suatu hal kecil atau sepele diharapkan sikap tanggap perempuan untuk segera memeriksakan.
Selain metode Pap Smear atau IFA juga bisa melakukan pemberian vaksin kanker serviks. Pemberian vaksin dimaksudkan untuk menciptakan anti bodi dalam organ reproduksi wanita. Seperti diketahui kondisi organ reproduksi wanita memang rentan terhadap serangan virus dan bakteri.
Jika sejumlah bakteri, kuman, dan virus berada dalam jumlah seimbang tidak masalah. Namun, ketika perempuan mengalami stress, infeksi melalui pasangan dan gaya hidup yang tidak sehat bisa mengacaukan kesimbangan "penghuni" organ reproduksi perempuan.
Indonesia, diakui Taufan, belumlah setanggap negara barat untuk urusan vaksin. Berbagai panduan atau rujukan memang telah dicanangkan oleh Ikatan dokter Indonesia dan organisasi kesehatan lain untuk memberikan vaksin pencegah kanker serviks untuk rentang usia 10-55 tahun. Namun, pemerintah belum bisa memberikan vaksin secara cuma seperti vaksin lain. Padahal di Eropa dan AS, pemerintah masing-masing negara mewajibkan vaksin dengan harga relatif terjangkau masyarakat.
Jadwal pemberian vaksin, paparnya, diberikan bulan pertama, bulan ketiga dan bilan keenam. Disarankan pemberian vaksin dilakukan sebelum melakukan hubungan suami-istri atau diberikan ketika belum terinfeksi.
"Pemberian vaksin efektif melindungi tubuh hingga 5.5 tahun, tapi diingat meski telah meminum vaksi belum tentu menghilangkan potensi kanker serviks. Vaksin apapun itu belum tentu menghilangkan potensi penyakit, vaksin hanya bersifat mencegah bukan menghilangkan," tegas Dr. Taufan.
"Perlu diperhatikan, untuk remaja perempuan hanya diperlukan pemberian vaksin saja. Untuk metode Pap Smear tidak boleh dilakukan untuk remaja perempuan yang belum menikah atau berhubungan suami istri, tidak boleh dilakukan ketika berdarah dan dilakukan setahun sekali bila diperoleh hasil negatif," ucapnya.
Masalah kesehatan memang belum seluruhnya diperhatikan pemerintah. Masalah vaksin dan skrining menjadi bukti kurangnya pemerintah terhadap permasalahan tanggap terhadap organ reproduksi perempuan. AKibatnya, kemudahan untuk mendapatkan jaminan kebutuhan vaksin menjadi semu.
Menurut Taufan, pemerintah belum bisa memberikan subsidi. Disamping itu, penelitian HPV penyebab kanker seviks masih terus dilakukan. Die mengatakan, kelemahan pemerintah seharusnya ditutup dengan sikap tanggap masyarakat terhadap keberadaan kanker serviks sehingga potensi terkena kanker serviks bisa terminimalisir. (cr2/rin)
http://republika.co.id/berita/52678/Waspada_Intaian_Kanker_Serviks
Pemeriksaan Keseimbangan dan Koordinasi
Coordination
Coordination is evaluated by testing the patient's ability to perform rapidly alternating and point-to-point movements correctly.
Rapidly Alternating Movement Evaluation
Ask the patient to place their hands on their thighs and then rapidly turn their hands over and lift them off their thighs. Once the patient understands this movement, tell them to repeat it rapidly for 10 seconds. Normally this is possible without difficulty. This is considered a rapidly alternating movement.
Dysdiadochokinesis is the clinical term for an inability to perform rapidly alternating movements. Dysdiadochokinesia is usually caused by multiple sclerosis in adults and cerebellar tumors in children. Note that patients with other movement disorders (e.g. Parkinson's disease) may have abnormal rapid alternating movement testing secondary to akinesia or rigidity, thus creating a false impression of dysdiadochokinesia.
Point-to-Point Movement Evaluation
Finger to Finger
Next, ask the patient to extend their index finger and touch their nose, and then touch the examiner's outstretched finger with the same finger. Ask the patient to go back and forth between touching their nose and examiner's finger. Once this is done correctly a few times at a moderate cadence, ask the patient to continue with their eyes closed. Normally this movement remains accurate when the eyes are closed. Repeat and compare to the other hand.
Dysmetria is the clinical term for the inability to perform point-to-point movements due to over or under projecting ones fingers.
Next have the patient perform the heel to shin coordination test. With the patient lying supine, instruct him or her to place their right heel on their left shin just below the knee and then slide it down their shin to the top of their foot. Have them repeat this motion as quickly as possible without making mistakes. Have the patient repeat this movement with the other foot. An inability to perform this motion in a relatively rapid cadence is abnormal.
The heel to shin test is a measure of coordination and may be abnormal if there is loss of motor strength, proprioception or a cerebellar lesion. If motor and sensory systems are intact, an abnormal, asymmetric heel to shin test is highly suggestive of an ipsilateral cerebellar lesion.
Dix-Hallpike test
The Dix-Hallpike test or Nylen-Barany test is a diagnostic maneuver used to identify benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
The Dix-Hallpike test is performed with the patient sitting upright with the legs extended. The patient's head is then rotated by approximately 45 degrees. The clinician helps the patient to lie down backwards quickly with the head held in approximately 20 degrees of extension. This extension may either be achieved by having the clinician supporting the head as it hangs off the table or by placing a pillow under their upper back. The patient's eyes are then observed for about 45 seconds as there is a characteristic 5-10 second period of latency prior to the onset of nystagmus. If rotational nystagmus occurs then the test is considered positive for benign positional vertigo. During a positive test, the fast phase of the rotatory nystagmus is toward the affected ear, which is the ear closest to the ground. The direction of the fast phase is defined by the rotation of the top of the eye, either clockwise or counter-clockwise. Home devices are available to assist in the performance of the Dix-Hallpike Maneuver for patients with a diagnosis of BPPV.
There are several key characteristics of a positive test:
Latency of onset (usually 5-10 seconds)
Torsional (rotational) nystagmus. If no torsional nystagmus occurs but there is upbeating or downbeating nystagmus, a central nervous system (CNS) dysfunction is indicated.
Upbeating or downbeating nystagmus. Upbeating nystagmus indicates that the vertigo is present in the posterior semicircular canal of the tested side. Downbeating nystagmus indicates that the vertigo is in the anterior semicircular canal of the tested side.
Fatigable nystagmus. Multiple repetition of the test will result in less and less nystagmus.
Reversal. Upon sitting after a positive maneuver the direction of nystagmus should reverse for a brief period of time.
To complete the test, the patient is brought back to the seated position, and the eyes are examined again to see if reversal occurs. The nystagmus may come in paroxysms and may be delayed by several seconds after the maneuver is performed.
If the test is negative, it makes benign positional vertigo a less likely diagnosis and CNS involvement should be considered.
Pendular Reflexes
Pendular reflexes are not brisk but involve less damping of the limb movement than is usually observed when a deep tendon reflex is elicited. Patients with cerebellar injury may have a knee jerk that swings forwards and backwards several times. A normal or brisk knee jerk would have little more than one swing forward and one back. Pendular reflexes are best observed when the patient's lower legs are allowed to hang and swing freelly off the end of an examining table.
Gait
Gait is evaluated by having the patient walk across the room under observation. Gross gait abnormalities should be noted. Next ask the patient to walk heel to toe across the room, then on their toes only, and finally on their heels only. Normally, these maneuvers possible without too much difficulty.
Be certain to note the amount of arm swinging because a slight decrease in arm swinging is a highly sensitive indicator of upper extremity weakness.
Also, hopping in place on each foot should be performed.
Walking on heels is the most sensitive way to test for foot dorsiflexion weakness, while walking on toes is the best way to test early foot plantar flexion weakness.
Abnormalities in heel to toe walking (tandem gait) may be due to ethanol intoxication, weakness, poor position sense, vertigo and leg tremors. These causes must be excluded before the unbalance can be attributed to a cerebellar lesion. Most elderly patients have difficulty with tandem gait purportedly due to general neuronal loss impairing a combination of position sense, strength and coordination. Heel to toe walking is highly useful in testing for ethanol inebriation and is often used by police officers in examining potential "drunk drivers".
Tandem gait
Tandem gait is a gait (method of walking or running) where the toes of the back foot touch the heel of the front foot at each step. Neurologists sometimes ask patients to walk in a straight line using tandem gait as a test to help diagnose ataxia, especially truncal ataxia, because sufferers of these disorders will have an unsteady gait. However, the results are not definitive, because many disorders or problems can cause unsteady gait (such as vision difficulties and problems with the motor neurons or associative cortex). Therefore, inability to walk correctly in tandem gait does not prove the presence of ataxia.
Fukuda Test
The "stepping test" was first developed by Fukuda as a test of vestibular function. More recently, the test has been shown to greater reflect somatosensory function
The test is performed by having the patient stand with eyes closed, arms outstretched and wearing ear muffs. The patient marches in place at the pace of a brisk walk while keeping the eyes closed. The doctor observes for any rotation that takes place. Rotation of 30 degrees or more is considered a positive test. The significance of the test is that it suggests the presence of either faulty kinesthetic sense or tonic neck reflexes (or both). In the low back pain patient, a positive test is likely a reflection of either faulty kinesthetic sense or faulty tonic lumbar reflexes.
Romberg Test
Next, perform the Romberg test by having the patient stand still with their heels together. Ask the patient to remain still and close their eyes. If the patient loses their balance, the test is positive.
To achieve balance, a person requires 2 out of the following 3 inputs to the cortex: 1. visual confirmation of position, 2. non-visual confirmation of position (including proprioceptive and vestibular input), and 3. a normally functioning cerebellum. Therefore, if a patient loses their balance after standing still with their eyes closed, and is able to maintain balance with their eyes open, then this is indicative of pathology in the proprioceptive pathway. This is a positive Romberg.
To conclude the gait exam, observe the patient rising from the sitting position. Note gross abnormalities.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/coordination.html
Coordination is evaluated by testing the patient's ability to perform rapidly alternating and point-to-point movements correctly.
Rapidly Alternating Movement Evaluation
Ask the patient to place their hands on their thighs and then rapidly turn their hands over and lift them off their thighs. Once the patient understands this movement, tell them to repeat it rapidly for 10 seconds. Normally this is possible without difficulty. This is considered a rapidly alternating movement.
Dysdiadochokinesis is the clinical term for an inability to perform rapidly alternating movements. Dysdiadochokinesia is usually caused by multiple sclerosis in adults and cerebellar tumors in children. Note that patients with other movement disorders (e.g. Parkinson's disease) may have abnormal rapid alternating movement testing secondary to akinesia or rigidity, thus creating a false impression of dysdiadochokinesia.
Point-to-Point Movement Evaluation
Finger to Finger
Next, ask the patient to extend their index finger and touch their nose, and then touch the examiner's outstretched finger with the same finger. Ask the patient to go back and forth between touching their nose and examiner's finger. Once this is done correctly a few times at a moderate cadence, ask the patient to continue with their eyes closed. Normally this movement remains accurate when the eyes are closed. Repeat and compare to the other hand.
Dysmetria is the clinical term for the inability to perform point-to-point movements due to over or under projecting ones fingers.
Next have the patient perform the heel to shin coordination test. With the patient lying supine, instruct him or her to place their right heel on their left shin just below the knee and then slide it down their shin to the top of their foot. Have them repeat this motion as quickly as possible without making mistakes. Have the patient repeat this movement with the other foot. An inability to perform this motion in a relatively rapid cadence is abnormal.
The heel to shin test is a measure of coordination and may be abnormal if there is loss of motor strength, proprioception or a cerebellar lesion. If motor and sensory systems are intact, an abnormal, asymmetric heel to shin test is highly suggestive of an ipsilateral cerebellar lesion.
Dix-Hallpike test
The Dix-Hallpike test or Nylen-Barany test is a diagnostic maneuver used to identify benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).
The Dix-Hallpike test is performed with the patient sitting upright with the legs extended. The patient's head is then rotated by approximately 45 degrees. The clinician helps the patient to lie down backwards quickly with the head held in approximately 20 degrees of extension. This extension may either be achieved by having the clinician supporting the head as it hangs off the table or by placing a pillow under their upper back. The patient's eyes are then observed for about 45 seconds as there is a characteristic 5-10 second period of latency prior to the onset of nystagmus. If rotational nystagmus occurs then the test is considered positive for benign positional vertigo. During a positive test, the fast phase of the rotatory nystagmus is toward the affected ear, which is the ear closest to the ground. The direction of the fast phase is defined by the rotation of the top of the eye, either clockwise or counter-clockwise. Home devices are available to assist in the performance of the Dix-Hallpike Maneuver for patients with a diagnosis of BPPV.
There are several key characteristics of a positive test:
Latency of onset (usually 5-10 seconds)
Torsional (rotational) nystagmus. If no torsional nystagmus occurs but there is upbeating or downbeating nystagmus, a central nervous system (CNS) dysfunction is indicated.
Upbeating or downbeating nystagmus. Upbeating nystagmus indicates that the vertigo is present in the posterior semicircular canal of the tested side. Downbeating nystagmus indicates that the vertigo is in the anterior semicircular canal of the tested side.
Fatigable nystagmus. Multiple repetition of the test will result in less and less nystagmus.
Reversal. Upon sitting after a positive maneuver the direction of nystagmus should reverse for a brief period of time.
To complete the test, the patient is brought back to the seated position, and the eyes are examined again to see if reversal occurs. The nystagmus may come in paroxysms and may be delayed by several seconds after the maneuver is performed.
If the test is negative, it makes benign positional vertigo a less likely diagnosis and CNS involvement should be considered.
Pendular Reflexes
Pendular reflexes are not brisk but involve less damping of the limb movement than is usually observed when a deep tendon reflex is elicited. Patients with cerebellar injury may have a knee jerk that swings forwards and backwards several times. A normal or brisk knee jerk would have little more than one swing forward and one back. Pendular reflexes are best observed when the patient's lower legs are allowed to hang and swing freelly off the end of an examining table.
Gait
Gait is evaluated by having the patient walk across the room under observation. Gross gait abnormalities should be noted. Next ask the patient to walk heel to toe across the room, then on their toes only, and finally on their heels only. Normally, these maneuvers possible without too much difficulty.
Be certain to note the amount of arm swinging because a slight decrease in arm swinging is a highly sensitive indicator of upper extremity weakness.
Also, hopping in place on each foot should be performed.
Walking on heels is the most sensitive way to test for foot dorsiflexion weakness, while walking on toes is the best way to test early foot plantar flexion weakness.
Abnormalities in heel to toe walking (tandem gait) may be due to ethanol intoxication, weakness, poor position sense, vertigo and leg tremors. These causes must be excluded before the unbalance can be attributed to a cerebellar lesion. Most elderly patients have difficulty with tandem gait purportedly due to general neuronal loss impairing a combination of position sense, strength and coordination. Heel to toe walking is highly useful in testing for ethanol inebriation and is often used by police officers in examining potential "drunk drivers".
Tandem gait
Tandem gait is a gait (method of walking or running) where the toes of the back foot touch the heel of the front foot at each step. Neurologists sometimes ask patients to walk in a straight line using tandem gait as a test to help diagnose ataxia, especially truncal ataxia, because sufferers of these disorders will have an unsteady gait. However, the results are not definitive, because many disorders or problems can cause unsteady gait (such as vision difficulties and problems with the motor neurons or associative cortex). Therefore, inability to walk correctly in tandem gait does not prove the presence of ataxia.
Fukuda Test
The "stepping test" was first developed by Fukuda as a test of vestibular function. More recently, the test has been shown to greater reflect somatosensory function
The test is performed by having the patient stand with eyes closed, arms outstretched and wearing ear muffs. The patient marches in place at the pace of a brisk walk while keeping the eyes closed. The doctor observes for any rotation that takes place. Rotation of 30 degrees or more is considered a positive test. The significance of the test is that it suggests the presence of either faulty kinesthetic sense or tonic neck reflexes (or both). In the low back pain patient, a positive test is likely a reflection of either faulty kinesthetic sense or faulty tonic lumbar reflexes.
Romberg Test
Next, perform the Romberg test by having the patient stand still with their heels together. Ask the patient to remain still and close their eyes. If the patient loses their balance, the test is positive.
To achieve balance, a person requires 2 out of the following 3 inputs to the cortex: 1. visual confirmation of position, 2. non-visual confirmation of position (including proprioceptive and vestibular input), and 3. a normally functioning cerebellum. Therefore, if a patient loses their balance after standing still with their eyes closed, and is able to maintain balance with their eyes open, then this is indicative of pathology in the proprioceptive pathway. This is a positive Romberg.
To conclude the gait exam, observe the patient rising from the sitting position. Note gross abnormalities.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/coordination.html
Pemeriksaan Pasien Coma
The Examination of a Comatose or Stuporous Patient
Because the comatose patient cannot understand and follow commands, the examination of the comatose patient is a modified version of the neurological examination of an alert patient. If a patient is comatose, it is safe to assume that the nervous system is being affected at the brainstem level or above. The goal of a neurological examination in a comatose patient is to determine if the coma is induced by a structural lesion or from a metabolic derangement, or possibly from both.
Two findings on exam strongly point to a structural lesion: 1. consistent asymmetry between right and left sided responses, and 2. abnormal reflexes that point to specific areas within the brain stem.
Mental status is evaluated by observing the patient's response to visual, auditory and noxious (i.e., painful) stimuli. The three main maneuvers to produce a noxious stimulus in a comatose patient are: 1. press very hard with your thumb under the bony superior roof of the orbital cavity, and 2. press a pen hard on one of the patient's fingernails.
Comatose patients may demonstrate motor responses indicative of more generalized reflexes. Decorticate posturing consists of adduction of the upper arms, flexion of the lower arms, wrists and fingers. The lower extremities extend in decorticate posturing. Decerebrate posturing consists of adduction of the upper arms, extension and pronation of the lower arms, along with extension of the lower extremities.
In general, patients with decorticate posturing have a better prognosis than patients who exhibit decerebrate posturing. Posturing does not have any localizing utility in humans.
Visual acuity cannot be tested in a comatose patient, but pupillary responses may be tested as usual. Visual fields may be partially evaluated by noting the patient's response to sudden objects introduced into the patient's visual field. Extra-ocular muscles may be evaluated by inducing eye movements via reflexes. The doll's eyes reflex, or oculocephalic reflex, is produced by moving the patient's head left to right or up and down. When the reflex is present, the eyes of the patient remain stationary while the head is moved, thus moving in relation to the head. Thus moving the head of a comatose patient allows extra-ocular muscle movements to be evaluated.
An alert patient does not have the doll's eyes reflex because it is suppressed. If a comatose patient does not have a doll's eyes reflex, then a lesion must be present in the afferent or efferent loop of this reflex arc. The afferent arc consists of the labyrinth, vestibular nerve, and neck proprioceptors. The efferent limb consists of cranial nerves III, IV and VI and the muscles they innervate. Furthermore, the pathways that connect the afferent and efferent limbs in the pons and medulla may also be disrupted and cause a lack of the doll's eyes reflex in a comatose patient.
If the patient is being examined in the emergency department or if there is a history of potential cervical spine injury, the doll's eyes reflex should not be elicited until after a cervical spine injury is ruled out.
The oculovestibular reflex, or cold calorics, is produced by placing the patient's upper body and head at 30 degrees off horizontal, and injecting 50-100cc of cold water into an ear. The water has the same effect on the semicircular canal as if the patient's head was turned to the opposite side of the injection. Therefore, the patient's eyes will look towards the ear of injection. This eye deviation lasts for a sustained period of time. This is an excellent manuever to assess extra-ocular muscles in the comatose patient with possible cervical spine injury.
If the oculovestibular reflex is absent, a lesion of the pons, medulla, or less commonly the III, IV, IV or VIII nerves is present. Unlike the oculocephalic reflex, the oculovestibular reflex is present in awake patients. In alert patients, this reflex not only induces eye deviation, it also produces nystagmus in the direction of the non-injected ear. The slow phase is towards the injected ear and the fast phase is away.
Cranial nerve V may be tested in the comatose patient with the corneal reflex test. Cranial nerve VII may be examined by observing facial grimicing in response to a noxious stimulus. Cranial nerves IX an X may be evaluated with the gag reflex.
The motor system is assessed by testing deep tendon reflexes, feeling the resistance of the patient's limbs to passive movements, and testing the strength of posturing and local withdrawl movements. Local withdrawl movements may be elicited by pressing a pen hard on the patient's fingernail and observing if the patient withdrawls the respective limb from the noxious stimulus.
Upper motor neuron lesions are characterized by spasticity. Spasticity is increased muscle tone leading to resistance of the limbs to passive manipulation. This spasticity classically results in the clasp-knife response. The clasp-knife response is when the spastic limb is passively moved with great resistance, when suddenly the limb "gives", becoming very easy to move. The clasp knife response is most prominent in the muscle groups least affected by the upper motor lesion, e.g., flexors in the upper extremities or extensors in the lower extremities.
The sensory system can only be evaluated by observing the patient's response, or lack of response, to noxious stimuli in different parts of the body.
In addition to withdrawing from noxious stimuli, patient's may localize towards noxious stimuli. Localization indicates a shallower coma compared to the patient that withdraws.
Consciousness is the state of full awareness of the self and ones relationship to the environment. Clinically, the level of consciousness from a patient is defined operationally at the bedside by the response of the patient to the examiner.
Qualitative Level of Consciousness
1. Compos mentis = Normal waking state
Sensory fully intact. The person sleeps at appropriate time, arouses fully, and approriately maintains the waking state.
2. Somnolence
The patient arouses spontaneously at times after normal stimuli but drift off inappropriately. The sensory functions adequately when aroused.
3. Sopor = Stupor
Appears asleep but arouses to vigorous verbal stimuli. May awaken spontaneously for brief period, but sensory clouded. Shows some spontaneous movement and follow some brief command.
4. Slight coma, semi-coma, soporocoma
No response to verbal stimuli. Moves mainly in response to painful stimuli. Reflexes (corneal, pupil) intact. Breathes adequately.
5. Deep, complete coma
No spontaneous movements or arousal. Reflexes absent. Breathing impaired or absent
A common prognostic assessment, called the Glascow Coma Scale, is often used to measure the depth of coma. The Glascow Coma Scale is often used serially as a means to follow a comatose patient clinically. It has 3 sections: I. best motor response, II. best verbal response, and III. eye opening.
Glascow Coma Scale:
I. Motor Response
6 - Obeys commands fully
5 - Localizes to noxious stimuli
4 - Withdraws from noxious stimuli
3 - Abnormal flexion, i.e. decorticate posturing
2 - Extensor response, i.e. decerebrate posturing
1 - No response
II. Verbal Response
5 - Alert and Oriented
4 - Confused, yet coherent, speech
3 - Inappropriate words, and jarbled phrases consisting of words
2 - Incomprehensible sounds
1 - No sounds
III. Eye Opening
4 - Spontaneous eye opening
3 - Eyes open to speech
2 - Eyes open to pain
1 - No eye opening
Glascow Coma Scale = I + II + III.
A lower score indicates a deeper coma and a poorer prognosis.
Patients with a Glascow Coma Scale of 3-8 are considered comatose. Patients with an initial score of 3-4 have a >95% incidence of death or persistent vegetative state.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/coma.html
Because the comatose patient cannot understand and follow commands, the examination of the comatose patient is a modified version of the neurological examination of an alert patient. If a patient is comatose, it is safe to assume that the nervous system is being affected at the brainstem level or above. The goal of a neurological examination in a comatose patient is to determine if the coma is induced by a structural lesion or from a metabolic derangement, or possibly from both.
Two findings on exam strongly point to a structural lesion: 1. consistent asymmetry between right and left sided responses, and 2. abnormal reflexes that point to specific areas within the brain stem.
Mental status is evaluated by observing the patient's response to visual, auditory and noxious (i.e., painful) stimuli. The three main maneuvers to produce a noxious stimulus in a comatose patient are: 1. press very hard with your thumb under the bony superior roof of the orbital cavity, and 2. press a pen hard on one of the patient's fingernails.
Comatose patients may demonstrate motor responses indicative of more generalized reflexes. Decorticate posturing consists of adduction of the upper arms, flexion of the lower arms, wrists and fingers. The lower extremities extend in decorticate posturing. Decerebrate posturing consists of adduction of the upper arms, extension and pronation of the lower arms, along with extension of the lower extremities.
In general, patients with decorticate posturing have a better prognosis than patients who exhibit decerebrate posturing. Posturing does not have any localizing utility in humans.
Visual acuity cannot be tested in a comatose patient, but pupillary responses may be tested as usual. Visual fields may be partially evaluated by noting the patient's response to sudden objects introduced into the patient's visual field. Extra-ocular muscles may be evaluated by inducing eye movements via reflexes. The doll's eyes reflex, or oculocephalic reflex, is produced by moving the patient's head left to right or up and down. When the reflex is present, the eyes of the patient remain stationary while the head is moved, thus moving in relation to the head. Thus moving the head of a comatose patient allows extra-ocular muscle movements to be evaluated.
An alert patient does not have the doll's eyes reflex because it is suppressed. If a comatose patient does not have a doll's eyes reflex, then a lesion must be present in the afferent or efferent loop of this reflex arc. The afferent arc consists of the labyrinth, vestibular nerve, and neck proprioceptors. The efferent limb consists of cranial nerves III, IV and VI and the muscles they innervate. Furthermore, the pathways that connect the afferent and efferent limbs in the pons and medulla may also be disrupted and cause a lack of the doll's eyes reflex in a comatose patient.
If the patient is being examined in the emergency department or if there is a history of potential cervical spine injury, the doll's eyes reflex should not be elicited until after a cervical spine injury is ruled out.
The oculovestibular reflex, or cold calorics, is produced by placing the patient's upper body and head at 30 degrees off horizontal, and injecting 50-100cc of cold water into an ear. The water has the same effect on the semicircular canal as if the patient's head was turned to the opposite side of the injection. Therefore, the patient's eyes will look towards the ear of injection. This eye deviation lasts for a sustained period of time. This is an excellent manuever to assess extra-ocular muscles in the comatose patient with possible cervical spine injury.
If the oculovestibular reflex is absent, a lesion of the pons, medulla, or less commonly the III, IV, IV or VIII nerves is present. Unlike the oculocephalic reflex, the oculovestibular reflex is present in awake patients. In alert patients, this reflex not only induces eye deviation, it also produces nystagmus in the direction of the non-injected ear. The slow phase is towards the injected ear and the fast phase is away.
Cranial nerve V may be tested in the comatose patient with the corneal reflex test. Cranial nerve VII may be examined by observing facial grimicing in response to a noxious stimulus. Cranial nerves IX an X may be evaluated with the gag reflex.
The motor system is assessed by testing deep tendon reflexes, feeling the resistance of the patient's limbs to passive movements, and testing the strength of posturing and local withdrawl movements. Local withdrawl movements may be elicited by pressing a pen hard on the patient's fingernail and observing if the patient withdrawls the respective limb from the noxious stimulus.
Upper motor neuron lesions are characterized by spasticity. Spasticity is increased muscle tone leading to resistance of the limbs to passive manipulation. This spasticity classically results in the clasp-knife response. The clasp-knife response is when the spastic limb is passively moved with great resistance, when suddenly the limb "gives", becoming very easy to move. The clasp knife response is most prominent in the muscle groups least affected by the upper motor lesion, e.g., flexors in the upper extremities or extensors in the lower extremities.
The sensory system can only be evaluated by observing the patient's response, or lack of response, to noxious stimuli in different parts of the body.
In addition to withdrawing from noxious stimuli, patient's may localize towards noxious stimuli. Localization indicates a shallower coma compared to the patient that withdraws.
Consciousness is the state of full awareness of the self and ones relationship to the environment. Clinically, the level of consciousness from a patient is defined operationally at the bedside by the response of the patient to the examiner.
Qualitative Level of Consciousness
1. Compos mentis = Normal waking state
Sensory fully intact. The person sleeps at appropriate time, arouses fully, and approriately maintains the waking state.
2. Somnolence
The patient arouses spontaneously at times after normal stimuli but drift off inappropriately. The sensory functions adequately when aroused.
3. Sopor = Stupor
Appears asleep but arouses to vigorous verbal stimuli. May awaken spontaneously for brief period, but sensory clouded. Shows some spontaneous movement and follow some brief command.
4. Slight coma, semi-coma, soporocoma
No response to verbal stimuli. Moves mainly in response to painful stimuli. Reflexes (corneal, pupil) intact. Breathes adequately.
5. Deep, complete coma
No spontaneous movements or arousal. Reflexes absent. Breathing impaired or absent
A common prognostic assessment, called the Glascow Coma Scale, is often used to measure the depth of coma. The Glascow Coma Scale is often used serially as a means to follow a comatose patient clinically. It has 3 sections: I. best motor response, II. best verbal response, and III. eye opening.
Glascow Coma Scale:
I. Motor Response
6 - Obeys commands fully
5 - Localizes to noxious stimuli
4 - Withdraws from noxious stimuli
3 - Abnormal flexion, i.e. decorticate posturing
2 - Extensor response, i.e. decerebrate posturing
1 - No response
II. Verbal Response
5 - Alert and Oriented
4 - Confused, yet coherent, speech
3 - Inappropriate words, and jarbled phrases consisting of words
2 - Incomprehensible sounds
1 - No sounds
III. Eye Opening
4 - Spontaneous eye opening
3 - Eyes open to speech
2 - Eyes open to pain
1 - No eye opening
Glascow Coma Scale = I + II + III.
A lower score indicates a deeper coma and a poorer prognosis.
Patients with a Glascow Coma Scale of 3-8 are considered comatose. Patients with an initial score of 3-4 have a >95% incidence of death or persistent vegetative state.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/coma.html
Mini-mental state examination
From Wikipedia, the free encyclopedia
The mini-mental state examination (MMSE) or Folstein test is a brief 30-point questionnaire test that is used to screen for cognitive impairment. It is commonly used in medicine to screen for dementia. It is also used to estimate the severity of cognitive impairment at a given point in time and to follow the course of cognitive changes in an individual over time, thus making it an effective way to document an individual's response to treatment.
In the time span of about 10 minutes it samples various functions including arithmetic, memory and orientation. It was introduced by Folstein et al. in 1975,[1]. This test is not the same thing as a mental status examination. The standard MMSE form which is currently published by Psychological Assessment Resources is based on its original 1975 conceptualization, with minor subsequent modifications by the authors.
Various other tests are also used, such as the Hodkinson[2] abbreviated mental test score (1972, geriatrics) or the General Practitioner Assessment Of Cognition as well as longer formal tests for deeper analysis of specific deficits.
The test
Interlocking pentagons used for the last question
The MMSE test includes simple questions and problems in a number of areas: the time and place of the test, repeating lists of words, arithmetic such as the serial sevens, language use and comprehension, and basic motor skills. For example, one question asks to copy a drawing of two pentagons (shown on the right).[1]
Although consistent application of identical questions increases the reliability of comparisons made using the scale, the test is sometimes customized (for example, for use on patients that are intubated, blind, or partially immobilized. Also, some have questioned the use of the test on the deaf.[3]) However, the number of points assigned per category is usually consistent:
Category, Possible points = Description
Orientation to time, 5 = From broadest to most narrow. Orientation to time has been correlated with future decline.
Orientation to place, 5 = From broadest to most narrow. This is sometimes narrowed down to streets, and sometimes to floor.
Registration, 3 = Repeating named prompts
Attention and calculation, 5 = Serial sevens, or spelling "world" backwards It has been suggested that serial sevens may be more appropriate in a population where English is not the first language.
Recall, 3 = Registration recall
Language, 2 = Name a pencil and a watch
Repetition, 1 = Speaking back a phrase
Complex commands, 6 = Varies. Can involve drawing figure shown.
Interpretation
Any score greater than or equal to 25 points (out of 30) is effectively normal (intact). Below this, scores can indicate severe (≤9 points), moderate (10-20 points) or mild (21-24 points)[9]. The raw score may also need to be corrected for educational attainment and age.[10] Low to very low scores correlate closely with the presence of dementia, although other mental disorders can also lead to abnormal findings on MMSE testing. The presence of purely physical problems can also interfere with interpretation if not properly noted; for example, a patient may be physically unable to hear or read instructions properly, or may have a motor deficit that affects writing and drawing skills.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mini-mental_state_examination
The mini-mental state examination (MMSE) or Folstein test is a brief 30-point questionnaire test that is used to screen for cognitive impairment. It is commonly used in medicine to screen for dementia. It is also used to estimate the severity of cognitive impairment at a given point in time and to follow the course of cognitive changes in an individual over time, thus making it an effective way to document an individual's response to treatment.
In the time span of about 10 minutes it samples various functions including arithmetic, memory and orientation. It was introduced by Folstein et al. in 1975,[1]. This test is not the same thing as a mental status examination. The standard MMSE form which is currently published by Psychological Assessment Resources is based on its original 1975 conceptualization, with minor subsequent modifications by the authors.
Various other tests are also used, such as the Hodkinson[2] abbreviated mental test score (1972, geriatrics) or the General Practitioner Assessment Of Cognition as well as longer formal tests for deeper analysis of specific deficits.
The test
Interlocking pentagons used for the last question
The MMSE test includes simple questions and problems in a number of areas: the time and place of the test, repeating lists of words, arithmetic such as the serial sevens, language use and comprehension, and basic motor skills. For example, one question asks to copy a drawing of two pentagons (shown on the right).[1]
Although consistent application of identical questions increases the reliability of comparisons made using the scale, the test is sometimes customized (for example, for use on patients that are intubated, blind, or partially immobilized. Also, some have questioned the use of the test on the deaf.[3]) However, the number of points assigned per category is usually consistent:
Category, Possible points = Description
Orientation to time, 5 = From broadest to most narrow. Orientation to time has been correlated with future decline.
Orientation to place, 5 = From broadest to most narrow. This is sometimes narrowed down to streets, and sometimes to floor.
Registration, 3 = Repeating named prompts
Attention and calculation, 5 = Serial sevens, or spelling "world" backwards It has been suggested that serial sevens may be more appropriate in a population where English is not the first language.
Recall, 3 = Registration recall
Language, 2 = Name a pencil and a watch
Repetition, 1 = Speaking back a phrase
Complex commands, 6 = Varies. Can involve drawing figure shown.
Interpretation
Any score greater than or equal to 25 points (out of 30) is effectively normal (intact). Below this, scores can indicate severe (≤9 points), moderate (10-20 points) or mild (21-24 points)[9]. The raw score may also need to be corrected for educational attainment and age.[10] Low to very low scores correlate closely with the presence of dementia, although other mental disorders can also lead to abnormal findings on MMSE testing. The presence of purely physical problems can also interfere with interpretation if not properly noted; for example, a patient may be physically unable to hear or read instructions properly, or may have a motor deficit that affects writing and drawing skills.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mini-mental_state_examination
Pemeriksaan Sistem Motorik - The Motor System Examination
The motor system evaluation is divided into the following: body positioning, involuntary movements, muscle tone and muscle strength.
Upper motor neuron lesions are characterized by weakness, spasticity, hyperreflexia, primitive reflexes and the Babinski sign. Primitive reflexes include the grasp, suck and snout reflexes. Lower motor neuron lesions are characterized by weakness, hypotonia, hyporeflexia, atrophy and fasciculations.
Fasciculations are fine movements of the muscle under the skin and are indicative of lower motor neuron disease. They are caused by denervation of whole motor units leading to acetylcholine hypersensitivity at the denervated muscle. Atrophy of the affected muscle is usually concurrent with fasciculations. Fibrillations are spontaneous contractions of individual muscle fibers and are therefore not observed with the naked eye.
Note the position of the body that the patient assumes when sitting on the examination table.
Paralysis or weakness may become evident when a patient assumes an abnormal body position. A central lesion usually produces greater weakness in the extensors than in the flexors of the upper extremities, while the opposite is true in the lower extremities: a greater weakness in the flexors than in the extensors.
Next, examine the patient for tics, tremors and fasciculations. Note their location and quality. Also note if they are related to any specific body position or emotional state.
Systematically examine all of the major muscle groups of the body.
For each muscle group:
Note the appearance or muscularity of the muscle (wasted, highly developed, normal).
Feel the tone of the muscle (flaccid, clonic, normal).
Test the strength of the muscle group. 0 No muscle contraction is detected
1. A trace contraction is noted in the muscle by palpating the muscle while the patient attempts to contract it.
2. The patient is able to actively move the muscle when gravity is eliminated.
3. The patient may move the muscle against gravity but not against resistance from the examiner.
4. The patient may move the muscle group against some resistance from the examiner.
5. The patient moves the muscle group and overcomes the resistance of the examiner. This is normal muscle strength.
Since this rating scale is skewed towards weakness, many clinicians further subclassify their finding by adding a + or -, e.g., 5- or 3+.
Starting with the deltoids, ask the patient to raise both their arms in front of them simultaneously as strongly as then can while the examiner provides resistance to this movement. Compare the strength of each arm.
The deltoid muscle is innervated by the C5 nerve root via the axillary nerve.
Next, ask the patient to extend and raise both arms in front of them as if they were carrying a pizza. Ask the patient to keep their arms in place while they close their eyes and count to 10. Normally their arms will remain in place. If there is upper extremity weakness there will be a positive pronator drift, in which the affected arm will pronate and fall. This is one of the most sensitive tests for upper extremity weakness.
Pronator drift is an indicator of upper motor neuron weakness. In upper motor neuron weakness, supination is weaker than pronation in the upper extremity, leading to a pronation of the affected arm. This test is also excellent for verification of internal consistency, because if a patient fakes the weakness, they almost always drop their arm without pronating it.
The patient to the left does not have a pronator drift.
Test the strength of lower arm flexion by holding the patient's wrist from above and instructing them to "flex their hand up to their shoulder". Provide resistance at the wrist. Repeat and compare to the opposite arm. This tests the biceps muscle.
The biceps muscle is innervated by the C5 and C6 nerve roots via the musculocutaneous nerve.
Now have the patient extend their forearm against the examiner's resistance. Make certain that the patient begins their extension from a fully flexed position because this part of the movement is most sensitive to a loss in strength. This tests the triceps. Note any asymmetry in the other arm.
The triceps muscle is innervated by the C6 and C7 nerve roots via the radial nerve.
Test the strength of wrist extension by asking the patient to extend their wrist while the examiner resists the movement. This tests the forearm extensors. Repeat with the other arm.
The wrist extensors are innervated by C6 and C7 nerve roots via the radial nerve. The radial nerve is the "great extensor" of the arm: it innervates all the extensor muscles in the upper and lower arm.
Examine the patient's hands. Look for intrinsic hand, thenar and hypothenar muscle wasting.
Test the patient's grip by having the patient hold the examiner's fingers in their fist tightly and instructing them not to let go while the examiner attempts to remove them. Normally the examiner cannot remove their fingers. This tests the forearm flexors and the intrinsic hand muscles. Compare the hands for strength asymmetry.
Finger flexion is innervated by the C8 nerve root via the median nerve.
Test the intrinsic hand muscles once again by having the patient abduct or "fan out" all of their fingers. Instruct the patient to not allow the examiner to compress them back in. Normally, one can resist the examiner from replacing the fingers.
Finger abduction or "fanning" is innervated by the T1 nerve root via the ulnar nerve.
To complete the motor examination of the upper extremities, test the strength of the thumb opposition by telling the patient to touch the tip of their thumb to the tip of their pinky finger. Apply resistance to the thumb with your index finger. Repeat with the other thumb and compare.
Thumb opposition is innervated by the C8 and T1 nerve roots via the median nerve.
Proceeding to the lower extremities, first test the flexion of the hip by asking the patient to lie down and raise each leg separately while the examiner resists. Repeat and compare with the other leg. This tests the iliopsoas muscles.
Hip flexion is innervated by the L2 and L3 nerve roots via the femoral nerve.
Test the adduction of the legs by placing your hands on the inner thighs of the patient and asking them to bring both legs together. This tests the adductors of the medial thigh.
Adduction of the hip is mediated by the L2, L3 and L4 nerve roots.
Test the abduction of the legs by placing your hands on the outer thighs and asking the patient to move their legs apart. This tests the gluteus maximus and gluteus minimus.
Abduction of the hip is mediated by the L4, L5 and S1 nerve roots.
Next, test the extension of the hip by instructing the patient to press down on the examiner's hand which is placed underneath the patient's thigh. Repeat and compare to the other leg. This tests the gluteus maximus.
Hip extension is innervated by the L4 and L5 nerve roots via the gluteal nerve.
Test extension at the knee by placing one hand under the knee and the other on top of the lower leg to provide resistance. Ask the patient to "kick out" or extend the lower leg at the knee. Repeat and compare to the other leg. This tests the quadriceps muscle.
Knee extension by the quadriceps muscle is innervated by the L3 and L4 nerve roots via the femoral nerve.
Test flexion at the knee by holding the knee from the side and applying resistance under the ankle and instructing the patient to pull the lower leg towards their buttock as hard as possible. Repeat with the other leg. This tests the hamstrings.
The hamstrings are innervated by the L5 and S1 nerve roots via the sciatic nerve.
Test dorsiflexion of the ankle by holding the top of the ankle and have the patient pull their foot up towards their face as hard as possible. Repeat with the other foot. This tests the muscles in the anterior compartment of the lower leg.
Ankle dorsiflexion is innervated by the L4 and L5 nerve roots via the peroneal nerve.
Holding the bottom of the foot, ask the patient to "press down on the gas pedal" as hard as possible. Repeat with the other foot and compare. This tests the gastrocnemius and soleus muscles in the posterior compartment of the lower leg.
Ankle plantar flexion is innervated by the S1 and S2 nerve roots via the tibial nerve.
To complete the motor exam of the lower extremity ask the patient to move the large toe against the examiner's resistance "up towards the patient's face". The extensor halucis longus muscle is almost completely innervated by the L5 nerve root. This tests the extensor halucis longus muscle.
Patients with primary muscle disease (e.g. polymyositis) or disease of the neuromuscular junction (e.g. myasthenia gravis), usually develop weakness in the proximal muscle groups. This leads to the greatest weakness in the hip girdle and shoulder girdle muscles. This weakness usually manifests as difficulty standing from a chair without significant help with the arm musculature. Patients often complain that they can't get out of their cars easily or have trouble combing their hair.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/motor.html
Upper motor neuron lesions are characterized by weakness, spasticity, hyperreflexia, primitive reflexes and the Babinski sign. Primitive reflexes include the grasp, suck and snout reflexes. Lower motor neuron lesions are characterized by weakness, hypotonia, hyporeflexia, atrophy and fasciculations.
Fasciculations are fine movements of the muscle under the skin and are indicative of lower motor neuron disease. They are caused by denervation of whole motor units leading to acetylcholine hypersensitivity at the denervated muscle. Atrophy of the affected muscle is usually concurrent with fasciculations. Fibrillations are spontaneous contractions of individual muscle fibers and are therefore not observed with the naked eye.
Note the position of the body that the patient assumes when sitting on the examination table.
Paralysis or weakness may become evident when a patient assumes an abnormal body position. A central lesion usually produces greater weakness in the extensors than in the flexors of the upper extremities, while the opposite is true in the lower extremities: a greater weakness in the flexors than in the extensors.
Next, examine the patient for tics, tremors and fasciculations. Note their location and quality. Also note if they are related to any specific body position or emotional state.
Systematically examine all of the major muscle groups of the body.
For each muscle group:
Note the appearance or muscularity of the muscle (wasted, highly developed, normal).
Feel the tone of the muscle (flaccid, clonic, normal).
Test the strength of the muscle group. 0 No muscle contraction is detected
1. A trace contraction is noted in the muscle by palpating the muscle while the patient attempts to contract it.
2. The patient is able to actively move the muscle when gravity is eliminated.
3. The patient may move the muscle against gravity but not against resistance from the examiner.
4. The patient may move the muscle group against some resistance from the examiner.
5. The patient moves the muscle group and overcomes the resistance of the examiner. This is normal muscle strength.
Since this rating scale is skewed towards weakness, many clinicians further subclassify their finding by adding a + or -, e.g., 5- or 3+.
Starting with the deltoids, ask the patient to raise both their arms in front of them simultaneously as strongly as then can while the examiner provides resistance to this movement. Compare the strength of each arm.
The deltoid muscle is innervated by the C5 nerve root via the axillary nerve.
Next, ask the patient to extend and raise both arms in front of them as if they were carrying a pizza. Ask the patient to keep their arms in place while they close their eyes and count to 10. Normally their arms will remain in place. If there is upper extremity weakness there will be a positive pronator drift, in which the affected arm will pronate and fall. This is one of the most sensitive tests for upper extremity weakness.
Pronator drift is an indicator of upper motor neuron weakness. In upper motor neuron weakness, supination is weaker than pronation in the upper extremity, leading to a pronation of the affected arm. This test is also excellent for verification of internal consistency, because if a patient fakes the weakness, they almost always drop their arm without pronating it.
The patient to the left does not have a pronator drift.
Test the strength of lower arm flexion by holding the patient's wrist from above and instructing them to "flex their hand up to their shoulder". Provide resistance at the wrist. Repeat and compare to the opposite arm. This tests the biceps muscle.
The biceps muscle is innervated by the C5 and C6 nerve roots via the musculocutaneous nerve.
Now have the patient extend their forearm against the examiner's resistance. Make certain that the patient begins their extension from a fully flexed position because this part of the movement is most sensitive to a loss in strength. This tests the triceps. Note any asymmetry in the other arm.
The triceps muscle is innervated by the C6 and C7 nerve roots via the radial nerve.
Test the strength of wrist extension by asking the patient to extend their wrist while the examiner resists the movement. This tests the forearm extensors. Repeat with the other arm.
The wrist extensors are innervated by C6 and C7 nerve roots via the radial nerve. The radial nerve is the "great extensor" of the arm: it innervates all the extensor muscles in the upper and lower arm.
Examine the patient's hands. Look for intrinsic hand, thenar and hypothenar muscle wasting.
Test the patient's grip by having the patient hold the examiner's fingers in their fist tightly and instructing them not to let go while the examiner attempts to remove them. Normally the examiner cannot remove their fingers. This tests the forearm flexors and the intrinsic hand muscles. Compare the hands for strength asymmetry.
Finger flexion is innervated by the C8 nerve root via the median nerve.
Test the intrinsic hand muscles once again by having the patient abduct or "fan out" all of their fingers. Instruct the patient to not allow the examiner to compress them back in. Normally, one can resist the examiner from replacing the fingers.
Finger abduction or "fanning" is innervated by the T1 nerve root via the ulnar nerve.
To complete the motor examination of the upper extremities, test the strength of the thumb opposition by telling the patient to touch the tip of their thumb to the tip of their pinky finger. Apply resistance to the thumb with your index finger. Repeat with the other thumb and compare.
Thumb opposition is innervated by the C8 and T1 nerve roots via the median nerve.
Proceeding to the lower extremities, first test the flexion of the hip by asking the patient to lie down and raise each leg separately while the examiner resists. Repeat and compare with the other leg. This tests the iliopsoas muscles.
Hip flexion is innervated by the L2 and L3 nerve roots via the femoral nerve.
Test the adduction of the legs by placing your hands on the inner thighs of the patient and asking them to bring both legs together. This tests the adductors of the medial thigh.
Adduction of the hip is mediated by the L2, L3 and L4 nerve roots.
Test the abduction of the legs by placing your hands on the outer thighs and asking the patient to move their legs apart. This tests the gluteus maximus and gluteus minimus.
Abduction of the hip is mediated by the L4, L5 and S1 nerve roots.
Next, test the extension of the hip by instructing the patient to press down on the examiner's hand which is placed underneath the patient's thigh. Repeat and compare to the other leg. This tests the gluteus maximus.
Hip extension is innervated by the L4 and L5 nerve roots via the gluteal nerve.
Test extension at the knee by placing one hand under the knee and the other on top of the lower leg to provide resistance. Ask the patient to "kick out" or extend the lower leg at the knee. Repeat and compare to the other leg. This tests the quadriceps muscle.
Knee extension by the quadriceps muscle is innervated by the L3 and L4 nerve roots via the femoral nerve.
Test flexion at the knee by holding the knee from the side and applying resistance under the ankle and instructing the patient to pull the lower leg towards their buttock as hard as possible. Repeat with the other leg. This tests the hamstrings.
The hamstrings are innervated by the L5 and S1 nerve roots via the sciatic nerve.
Test dorsiflexion of the ankle by holding the top of the ankle and have the patient pull their foot up towards their face as hard as possible. Repeat with the other foot. This tests the muscles in the anterior compartment of the lower leg.
Ankle dorsiflexion is innervated by the L4 and L5 nerve roots via the peroneal nerve.
Holding the bottom of the foot, ask the patient to "press down on the gas pedal" as hard as possible. Repeat with the other foot and compare. This tests the gastrocnemius and soleus muscles in the posterior compartment of the lower leg.
Ankle plantar flexion is innervated by the S1 and S2 nerve roots via the tibial nerve.
To complete the motor exam of the lower extremity ask the patient to move the large toe against the examiner's resistance "up towards the patient's face". The extensor halucis longus muscle is almost completely innervated by the L5 nerve root. This tests the extensor halucis longus muscle.
Patients with primary muscle disease (e.g. polymyositis) or disease of the neuromuscular junction (e.g. myasthenia gravis), usually develop weakness in the proximal muscle groups. This leads to the greatest weakness in the hip girdle and shoulder girdle muscles. This weakness usually manifests as difficulty standing from a chair without significant help with the arm musculature. Patients often complain that they can't get out of their cars easily or have trouble combing their hair.
http://edinfo.med.nyu.edu/courseware/neurosurgery/motor.html