Kamis, 24 Desember 2009

Penanggulangan Pandemi Flu baru H1N1 oleh Departemen Kesehatan RI

A. Respons Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Flu baru H1N1

Menteri Kesehatan koordinasikan pencegahan dan penanggulangan Influenza A H1N1
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 311/Menkes/SK/V/2009 tentang Penetapan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah
Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 422/Menkes/VI/2009 tentang Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza A Baru H1N1 fase 6
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 444/Menkes/SK/VI/2009 tentang Tim Kesiapsiagaan Penanggulangan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) Nasional
Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 504/Menkes/VII2009 tentang Hal Edaran Respon Menghadapi Pandemi Influenza A Baru H1N1 Fase 6 tanggal 1 Juli 2009
Surat Edaran Dirjen PP dan PL Departemen Kesehatan RI
PM.01.04/D/II.4/4/733/2009 perihal Peningkatan Respon terhadap KLB Influenza A Baru (H1N1) tanggal 30 Juni 2009
PM.02.04/D/II.1/694/09 tentang Peningkatan Surveilans Influenza dalam Menghadapi Flu Baru (H1N1) tanggal 24 Juni 2009
PM.01/D/I.4/1406/2009 perihal Edaran Keempat Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza A Baru (H1N1) Fase 6 tanggal 16 Juni 2009
PM.01.01/D/I.4/1047/2009 perihal Edaran Ketiga kewaspadaan Flu Baru H1N1 (strain Mexico) tanggal 4 Mei 2009
PM.01/D/I.4/1242/2009 perihal Edaran Kedua kewaspadaan Swine Flu (Flu Meksiko) tanggal 29 April 2009
PM.01.01/D/I.4/1221/2009 perihal Edaran kewaspadaan Swine Flu tanggal 25 April 2009

Surat Edaran Dirjen Bina Pelayanan Medik
Y.M.01.04/II.4/778/2009 hal Pengantar Edaran Dirjen Bina Pelayanan Medik
KK.01.02/II/2177/2009 hal Antisipasi Pandemi Flu Baru (H1N1)
YM.02.04/II/1517/09 hal Instruksi Waspada Flu Babi (swine flu)

Surat Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat
YM.03.02/BI.4/2371/09 hal Meningkatkan Kesiagaan Puskesmas Dalam Penanganan Virus Influenza Baru A-H1N1


B. Siaran Pers
1 Agustus 2009 Kasus Positif Baru Influenza A H1N1 Tambah 25 Kasus
31 Juli 2009 Kasus Positif Baru Influenza A H1N1 Tambah 16 kasus
30 Juli 2009 Tambahan Kasus Positif Influenza A H1N1 Sebanyak 35 kasus
29 Juli 2009 Dua Puluh Delapan Kasus Baru Influenza A H1N1
27 Juli 2009 Tambahan 16 Kasus Baru Influenza A H1N1
27 Juli 2009 Tambahan 38 Kasus Influenza A H1N1
25 Juli 2009 Kasus Positif Influenza A H1N1 Tambah 19 Kasus
24 Juli 2009 Kasus Baru Positif Influenza A H1N1 Tambah 21 Orang, Satu Meninggal
23 Juli 2009 Tambahan Kasus Positif Influenza A H1N1
22 Juli 2009 Masyarakat Diminta Tetap Waspada Hadapi Pandemi Influenza A H1N1
16 Juli 2009 Masyarakat Dapat Mencegah Penularan Influenza A H1N1
15 Juli 2009 Walau Angka Kematian Rendah, Masyarakat Diminta Tetap Waspada
14 Juli 2009 26 Kasus Baru Positif Influenza A H1N1
13 Juli 2009 Masyarakat Diminta Tetap Waspada Hadapi Penyebaran Influenza A H1N1
12 Juli 2009 13 WNI Positif Terjangkit Influenza A H1N1 di Korea
12 Juli 2009 Di Indonesia Sudah Ada 64 Kasus Influenza A H1N1
9 Juli 2009 Dua Puluh Empat Tambahan Kasus Baru Positif Influenza A H1N1
7 Juli 2009 Pasien H1N1 Tambah Delapan Kasus
4 Juli 2009 Tambahan Kasus Baru Influenza A H1N1
30 Juni 2009 Untuk Cegah Flu Babi: Penumpang Wajib Kenakan Masker
28 Juni 2009 Enam Kasus Baru Influenza A H1N1
24 Juni 2009 Menteri Kesehatan Laporkan Dua Kasus Influenza A H1N1
15 Juni 2009 Menteri Kesehatan Koordinasikan Pencegahan dan Penanggulangan Influenza A Baru H1N1


C. Tanya Jawab Seputar Flu A baru H1N1

D. Peraturan-perundangan terkait Penanggulangan Penyakit Menular Potensi Wabah/KLB
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah, Tatacara Penyampaian Laporannya dan Tatacara Penanggulangan Seperlunya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 311/Menkes/SK/V/2009 tentang Penetapan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) sebagai Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah

E. Informasi Jumlah Kasus Flu A Baru H1N1 di Dunia

F. Komunikasi Risiko

G. Surveilans Epidemiologi
Petunjuk Teknis Surveilans Epidemiologi Flu H1N1

H. Virologi

I. Perbekalan Kesehatan/Farmasi

J. Penatalaksanaan Kasus
Dalam rangka menangani pasien flu baru H1N1, telah disediakan 100 Rumah Sakit yang juga merupakan RS rujukan Flu Burung (Avian Influenza). Daftar 100 Rumah Sakit lebih lanjut terlampir di sini.
Penatalaksanaan kasus Flu baru H1N1 terus dikembangkan saat ini oleh Departemen Kesehatan. Pedoman penatalaksanaan flu baru H1N1 dapat merujuk pada tatalaksana kasus avian influenza.

http://m.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3461&Itemid=2

Waspada Demam Berdarah Dengue

Musim hujan telah tiba, masyarakat diminta waspada terhadap Demam Berdarah Dengue. Untuk mengindari penyakit yang belum ada obat maupun vaksinnya ini, masyarakat diminta menjaga kebersihan lingkungan, melakukan pemberantasan jentik nyamuk dengan 3M Plus (mengubur, menguras dan menutup plus hindari gigitan nyamuk).


Demikian pesan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama berkaitan peningkatan kasus DBD di berbagai daerah serta datangnya musim hujan di Jakarta, 4 Desember 2009.

Menurut Dirjen P2PL, sejak Januari – Oktober 2009, Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menelan 1.013 korban jiwa dari total penderita sebanyak 121.423 orang (CFR: 0,83). Jumlah ini meningkat dibandingkan periode tahun 2008 yaitu 953 orang meninggal dari 117.830 kasus (CFR: 0,81). Jangan tunggu jatuh banyak korban lagi, lakukan 3 M Plus secara bersama-sama.

Dari kasus yang dilaporkan selama tahun 2009, tercatat 10 provinsi yang menunjukkan kasus terbanyak, yaitu Jawa Barat (29.334 kasus 244 meninggal), DKI Jakarta (26.326 kasus 33 meninggal), Jawa Timur (15.362 kasus 147 meninggal), Jawa Tengah (15.328 kasus, 202 meninggal), Kalimantan Barat (5.619 kasus, 114 meninggal), Bali (5.334 kasus, 8 meninggal), Banten (3.527 kasus, 50 meninggal), Kalimantan Timur (2.758 kasus, 34 meninggal), Sumatera Utara (2.299 kasus, 31 meninggal), dan Sulawesi Selatan (2.296 kasus, 20 meninggal), ujar Prof. Tjandra.

Beberapa provinsi yang mengalami peningkatan kasus dibandingakan tahun 2008 adalah Jambi, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Barat dan Papua.

Korban akibat DDB diperkirakan terus bertambah terutama pasca banjir, pergantian musim, dan pada waktu curah hujan jarang terjadi dimana banyak penampungan air seperti vas bunga, tendon air/ water toren, bak mandi, tempayan serta ban bekas, kaleng bekas, botol minuman bekas dan sebagainya yang dekat dengan lingkungan pemukiman penduduk tidak dibersihkan, sehingga menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes Aegypti penular DBD.

Nyamuk ini juga menularkan penyakit Chikungunya yang menyerang otot-otot dan menimbulkan nyeri berat. Menggigit pada siang hari dengan waku efektif 2 jam setelah matahari terbit (pukul 08.00 12.00 dan beberapa jam setelah matahari tenggelam (pukul 15.00 – 17.00). Setelah digigit nyamuk, antara 3 – 14 hari kemudian atau biasanya 4 – 7 hari akan menunjukkan gejala atau tanda-tanda DBD. Penyakit ini dapat dicegah dengan menghindari gigitan nyamuk Aedes Aegypti, yaitu menggunakan obat nyamuk oles (repellent), menggunakan kelambu bila tidur siang, dan usir nyamuk dengan obat nyamuk bakar/ semprot baik di dalam maupun di luar rumah pada pagi dan sore hari.

Tanda atau gejala DBD yang muncul seperti bintik-bintik merah pada kulit. Selain itu suhu badan lebih dari 38OC, badan terasa lemah dan lesu, gelisah, ujung tangan dan kaki dingin berkeringat, nyeri ulu hati, dan muntah. Dapat pula disertai pendarahan seperti mimisan dan buang air besar bercampur darah serta turunnya jumlah trombosit hingga 100.000/mm3. Tidak perlu menunggu semua gejala ini muncul, bila menemukan beberapa tanda segera periksakan ke dokter atau sarana kesehatan terdekat.

Pertolongan pertama pada penderita dapat dilakukan dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya (air masak, air dalam kemasan, air teh, dsb), mengompreskan air dingin pada penderita, serta memberikan obat penurun panas. Bila ada riwayat kejang, berikan obat anti kejang.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.
http://m.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3638&Itemid=2

Rokok Membunuh Lima Juta Orang Setiap Tahun

Tembakau/rokok membunuh separuh dari masa hidup perokok dan separuh perokok mati pada usia 35 – 69 tahun. Data epidemi tembakau di dunia menjunjukkan tembakau membunuh lebih dari lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut terus, pada tahun 2020 diperkirakan terjadi sepuluh juta kematian dengan 70 persen terjadi di negara sedang berkembang.


Hal itu dikatakan Menkes dr. Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH, dalam sambutan yang dibacakan Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Dirjen P2PL Depkes ketika membuka Temu Karya Peringatan Kesehatan akan Bahaya Rokok di Jakarta tanggal 12 Desember 2009.

Menurut Menkes, tingginya populasi dan konsumsi rokok menempatkan Indonesia menduduki urutan ke-5 konsumsi tembakau tertinggi di dunia setelah China, Amerika Serikat, Rusia dan Jepang dengan perkiraan konsumsi 220 milyar batang pada tahun 2005.

Padahal rokok/tembakau dapat menyebabkan berbagai penyakit tidak menular seperti jantung dan gangguan pembuluh darah, stroke, kanker paru, dan kanker mulut. Di samping itu, rokok juga menyebabkan penurunan kesuburan, peningkatan insidens hamil diluar kandungan, pertumbuhan janin (fisik dan IQ) yang melambat, kejang pada kehamilan, gangguan imunitas bayi dan peningkatan kematian perinatal.

Rokok mengandung lebih dari empat ribu bahan kimia, termasuk 43 bahan penyebab kanker yang telah diketahui, sehingga lingkungan yang terpapar dengan asap tembakau juga dapat menyebabkan bahaya kesehatan yang serius, ujar Menkes.

Di masa mendatang masalah kesehatan akibat rokok di Indonesia semakin berat karena 2 diantara 3 orang laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi karena 85,4% perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Selain itu, 50 persen orang Indonesia kurang aktivitas fisik dan 4,6 persen mengkonsumsi alkohol, kata Menkes.

Lebih 43 juta anak Indonesia serumah dengan perokok dan terpapar asap tembakau. Padahal anak-anak yang terpapar asap tembakau dapat mengalami pertumbuhan paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis dan infeksi saluran pernapasan dan telinga serta asma. ”Kesehatan yang buruk di usia dini menyebabkan kesehatan yang buruk di saat dewasa”, imbuh Menkes.

Dengan mengutip data The Global Youth Survey Tahun 2006, Menkes menambahkan, 6 dari 10 pelajar (64,2%) yang disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga (37,3%) merokok, bahkan 3 diantara 10 pelajar atau 30,9% pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun.

Menurut Menkes meningkatnya jumlah perokok di kalangan anak-anak dan kaum muda Indonesia karena dipengaruhi iklan rokok, promosi dan sponsor rokok yang sangat gencar.

Konsumsi rokok menimbulkan kerugian langsung bagi perokok dan keluarganya, terlebih bagi keluarga miskin. Rata-rata pengeluaran keluarga miskin untuk konsumsi rokok cukup besar. Alih-alih untuk perbaikan gizi keluarga dan pendidikan anak, justru pendapatan yang terbatas dibelanjakan untuk rokok, ujar Menkes.

Padahal dengan mengurangi konsumsi rokok di kalangan keluarga miskin, maka subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan yang menderita penyakit-penyakit akibat rokok dapat dikurangi, ujar Menkes.

Pada kesempatan itu Menkes mengajak dan menghimbau seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama melindungi generasi muda dari bahaya asap rokok. ”Marilah kita ciptakan lingkungan yang bersih dan bebas asap rokok, sehingga generasi muda kita dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang utuh, berkualitas dan siap membangun negara kita”, imbuh Menkes.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara jelas menyatakan pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ( yang meliputi tembakau & produk yang mengandung tembakau ) harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Selain itu, setiap orang yang memproduksi dan atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Dalam UU itu juga mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok guna melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok.

Temu karya diikuti sekitar 600 orang dari berbagai unsur yaitu Depdiknas, Depkes, PGRI, mahasiswa Universitas Negeri dan Swasta dan BEM se Jabodetabek, Siswa SMA dan SMK beserta para guru, organisasi keagamaan, organisasi internasional, LSM pemerhati masalah tembakau dan media massa.

Tujuan pertemuan adalah untuk meningkatkan keterlibatan tokoh masyarakat, media massa, para petugas kesehatan, para pendidik dan generasi muda untuk bersama-sama melindungi masyarakat dari bahaya rokok.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI.
http://m.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3657

Gangguan Ginjal Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler

Hampir separuh penderita penyakit ginjal meninggal bukan karena penyakit ginjal itu sendiri, tapi malah akibat penyakit kardiovaskuler. Setelah ditelisik, ternyata diketahui bahwa penyakit ginjal merupakan faktor risiko independen terjadinya penyakit kardiovaskular. Hingga akhirnya Konsil Ginjal dan Kardiovaskuler American Heart Association pun merekomendasikan, penderita penyakit ginjal merupakan kelompok yang paling berisiko mengalami penyakit kardiovaskular.

Sebuah data dari Cardiovascular Health Study membuktikan bahwa penderita dengan penyakit ginjal stadium 3 dan 4, dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus antara 15 dan 59 ml/menit/1,73 m2, ternyata mempunyai insiden dan risiko penyakit jantung dua kali lipat ketimbang individu dengan laju filtrasi glomerulus normal. Sementara pada coronary prevention project ditunjukkan, mortalitas 1 tahun setelah infark miokard meningkat dari 24% menjadi 46% dan 66% pada penderita dengan kreatinin serum 1,5 mg/dl, dan 2,5-3,9 mg/dl.

Menurut Prof. DR. Dr Ketut Suwitra, SpPD-KGH dari Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar, ada banyak hipotesis yang berusaha menerangkan fenomena ini. Namun seperti yang telah diketahui, ada dua jenis faktor risiko penyakit kardiovaskular yaitu, faktor risiko tradisional dan faktor risiko non tradisional (lihat tabel 1). “Untuk penyakit ginjal, faktor risiko non tradisional lah yang lebih banyak memegang peranan.”

Table 1. Faktor Risiko Kardiovaskuler Tradiosional dan Non Tradisional
Faktor risiko tradisional
Usia tua
Jenis kelamin laki-laki
Hipertensi
LDL kolesterol tinggi
HDL kolesterol rendah
Diabetes
Merokok
Kurang gerak fisik
Menopause
Riwayat keluarga penyakit kardiovaskuler
Hipertropi ventrikular kiri

Faktor Resiko non-Tradisional
Albuminiuria/proteinuria
Homosistein
Lipoprotein (a) dan Lipoprotein (a) isoform
Bekas lipoprotein
Anemia
Abnormalitas metabolisme ca-fosfat
Cairan ekstraseluler berlebihan
Stress oksidatif
Inflamasi (C-reactive protein)
Malnutrisi
Faktor trombogenik
Gangguan tidur
Perubahan keseimbangan nitrit oksida/ Endotelin

Lebih lanjut Suwitra mengatakan, anemia sebagai salah satu faktor non tradisional terjadi pada sekitar 80% penderita penyakit ginjal stadium 3 dan 4. Anemia memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap penyakit kardiovaskuler. Bukti klinis menunjukkan, anemia dapat meningkatkan morbiditas penyakit kardiovaskuler. Koreksi terhadap anemia bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler.

Sementara substansi uremik yang tertimbun dalam darah akibat terganggunya fungsi ginjal juga merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler. Di antara substansi uremik tersebut adalah air, fosfat, kalium, hormon paratiroid, beta2 mikroglobulin, homosistein, dan berbagai faktor inflamasi. Semua substansi ini berkontribusi, baik secara tersendiri maupun bersama-sama.

Sedangkan untuk mikroalbuminaria, awalnya hanya dianggap sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskuler hanya pada nefropati diabetik. Ternyata kemudian terungkap fakta, pada non diabetik pun mikroalbuminari merupakan faktor risiko kardiovaskuler yang sangat penting. Hal ini dibuktikan oleh Gerstein pada studi HOPE dan Wachtell pada studi LIFE.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=31

Kapan Harus Mulai Terapi Empiris untuk MRSA ?

Infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) biasanya terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit, terutama pasien tua atau pasien yang sakit sangat parah, pasien dengan luka terbuka, atau pasien yang diintubasi. Selain itu, lama menginap di rumah sakit, penggunaan antibiotik spektrum luas, menginap di ruang rawat intensif (ICU), berdekatan dengan pasien terinfeksi MRSA, pembedahan, dan kolonisasi MRSA, juga menjadi faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya infeksi MRSA.



Dalam penyebarannya, infeksi MRSA hampir selalu ditularkan melalui kontak langsung dengan pasien MRSA atau kontak tidak langsung melalui objek (seperti handuk, alas tempat tidur, pakaian, pembalut luka, dll). MRSA jarang sekali ditularkan melalui udara.



Menurut Prof. DR. Herdiman T. Pohan, SpPD-KPTI, Kepala Divisi Penyakit Tropic dan Infeksi FKUI RSCM, pasien yang berisiko tinggi mengalami risiko infeksi MRSA adalah mereka yang di rawat di rumah sakit tersier dan pasien di ruang ICU. Selain itu pasien luka bakar, pasien dengan luka bedah, atau pasien yang menerima pengobatan melalui intravena, juga berisiko tinggi MRSA.



Lebih lanjut Herdiman mengatakan, pengobatan MRSA haruslah dilakukan secara definitive berdasarkan hasil uji mikrobiologi dan kerentanan Staph. Aureus terhadap methicillin atau oxacillin (MIC> 4 µg/ml). Antibiotik yang bisa digunakan untuk pengobatan MRSA antara lain; glikopeptida (vancomycin, teicoplanin); oxazolidinon (linezolid); streptogramin (quinopristin-dalfopristin); dan gycylcycline (tigecyclin). Selain itu juga ada alternatif seperti kotrimoksazol, minocyclin, fluorokuinolon, dan rifampicin. Sedangkan untuk kombinasi bisa digunakan gabungan kotrimoksazol dengan rifampisin atau minosiklin dengan rifampisin.



Tapi untuk kasus dimana hasil kultur negatif dan infeksi sepsis yang parah, maka harus dilakukan terapi secara empiris. Selain itu juga dipertimbangkan untuk pasien yang menggunakan antibiotik spektrum luas, progresifitas penyakit dengan faktor risiko lama menginap di rumah sakit, menggunakan ventilator, penggunaan kateter, dan adanya kolonisasi MRSA.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=18

Anak-anak Penderita DM 2 pun Berisiko Komplikasi

Seperti layaknya dewasa, anak-anak dan remaja penderita diabetes tipe 2 ternyata juga berisiko mengalami komplikasi akut dan kronis. Tapi, komplikasi akibat diabetes ini diperkirakan lebih dini pada pasien muda ini. Demikian yang ditemukan oleh sebuah studi review yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet edisi 26 Mei 2007.

Dalam lima belas tahun terakhir, prevalensi penderita diabetes tipe 2 di kalangan anak-anak dan remaja meningkat dramatis. Sebelumnya, diabetes tipe 2 hanya dijumpai pada sekitar 3% dari semua kasus diabetes yang terdiagnosa pada remaja. Tapi sekarang diperkirakan ada sekitar 45% kasus.

Menurut peneliti, Dr. Orit Pinhas-Hamiel dari Sheba Medical Center, Ramat-Gan, Israel dan Dr. Philip Zeitler dari University of Denver, kebiasaan memberikan makanan dari besar pada pediatrik penderita diabetes terkait dengan epidemi obesitas. Hal ini akan menjadi tantangan kesehatan publik yang serius di beberapa dekade berikut. Pasalnya, ada kecenderungan anak-anak dan remaja penderita dibetes tipe 2 mengalami komplikasi karena kurang disiplin berobat.

Komplikasi diabetes tipe 2 yang umum dijumpai pada anak dan remaja mencakup hipertensi, pra-hipertensi, mikroalbuminuria, makroalbuminuria, background retinopathy, dan proliferative retinopathy. Peneliti menemukan, untuk kasus komplikasi tersering biasanya dijumpai saat diabetes terdiagnosa.

Selain komplikasi penyakit yang telah dikenal baik, anak dan remaja penderita diabetes tipe 2 juga berisiko tinggi mengalami gangguan psikiatrik. Kasarnya 1 dari 5 anak penderita diabetes mengalami depresi atau gangguan kejiwaan lainnya.

"Meski masih terbatas, temuan ini menyatakan bahwa sangat urgen untuk mengembangkan cara pendekatan untuk mewaspadai dan tatalaksana dini diabetes tipe 2 dan abnormalitas terkait. Studi jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai terapi adjunctive dini," ujar Dr. Pinhas-Hamiel dan Dr. Zeitler menghimbau.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=32

Merokok Pasif Bisa Lebih Bahaya Dari Merokok Aktif

Para perokok mulai kini harus mulai berhti-hati. Paslnya, merokok di sembarang tempat dan menyebarkan asap rokok ke lingkungan, kini dianggap sebagai tindakan asosial serta bisa digolongkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Merokok merupakan suatu pilihan, tapi bernafas, terutama menghirup udara bersih, adalah kebutuhan semua manusia di dunia. Oleh karena itu, para perokok diharapkan bisa menghormati hak asasi orang lain di sekitarnya yang tidak merokok.

Pertimbangan di atas mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Smoke-Free Environment atau Lingkungan Bebas Asap Rokok sebagai tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2007, yang dirayakan setiap tanggal 31 Mei ini. Merokok membahayakan perokok, dan terlebih lagi, asap rokok membahayakan bukan perokok. Tidak saja karena satu perokok bisa membahayakan banyak bukan perokok di sekitarnya, namun juga karena pada umumnya sensitivitas reaksi kesehatan mereka lebih tinggi dibanding kaum perokok, sehingga lebih rentan terhadap gangguan kesehatan karena asap rokok.

Mainstream smoke atau asap yang dihisap perokok, besarnya hanya 4% padahal asap rokok yang dikeluarkan rokok terbakar saat tak dihisap (sidestream smoke) besarnya 96% dari total masa pembakaran rokok. Sidestream smoke lebih berbahaya bagi kesehatan daripada asap mainstream karena terbakar pada suhu tinggi dan tanpa saringan, lepas ke udara. Asap sidestream juga mengandung lebih banyak zat berbahaya daripada asap mainstream yang dihirup perokok.

Campuran dua jenis asap di atas disebut second-hand smoke atau Environmental Tobacco Smoke (ETS). Paparan terhadap ETS disebut merokok pasif (passive smoking) atau involuntary smoking yang dapat dikatakan terpaksa merokok. Kegiatan merokok tidak saja menyebarkan asap ke udara tapi juga partikel-partikel non-asap. Anggota masyarakat tidak seharusnya menghisap asap rokok, tetapi seringkali mereka tidak mengetahui bahwa mereka menghisap partikel-partikel rokok non-asap yang tertinggal di udara dan terus dipancarkan alat pengatur udara. Padahal partikel-partikel ini sama merugikannya bagi kesehatan manusia.

Sumber asap rokok di dalam ruangan (indoor) lebih membahayakan daripada di luar ruangan (outdoor) karena sebagian besar orang menghabiskan 60%-90% waktunya selama satu hari penuh (24 jam) di dalam ruangan. Dalam asap rokok terdapat sesedikitnya 30 jenis polutan. Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) menyatakan bahwa asap rokok mengandung sekitar 60 zat penyebab kanker. Jadi, perokok secara tak langsung telah menyudutkan kaum bukan merokok, memaksa mereka menanggung akibat yang sama dengan perokok.

Paparan asap rokok bisa didapatkan dari berbagai tempat, seperti di kantor, alat transportasi umum, rumah makan, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, dan banyak lagi. WHO memperkirakan sekitar 50% anak-anak di seluruh dunia terpolusi asap rokok di rumah mereka.

Populasi yang rentan terhadap asap rokok adalah anak-anak, karena mereka menghirup udara lebih sering daripada orang dewasa. Organ anak-anak masih lemah sehingga rentan terhadap gangguan dan masih berkembang sehingga jika terkena dampak buruk maka perkembangan organnya pun tidak sesuai dengan semestinya.

Lembaga Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) memperkirakan, setiap tahun merokok pasif menyebabkan 150.000-300.000 infeksi saluran pernafasan bawah pada anak-anak di bawah usia 18 bulan, mengakibatkan 7.500-15.000 anak-anak tersebut dirawat di rumah sakit, terutama karena gangguan organ pernafasan. Berbagai gangguan kesehatan pada anak bisa dipicu oleh asap rokok.

Menurut ahli kedokteran anak dalam jurnal Pediatrics, tidak ada data yang mengindikasikan bahwa rendahnya tingkat paparan asap rokok dapat dianggap tidak membahayakan kesehatan seseorang. Dampak asap rokok pada anak-anak bisa bervariasi, jadi tidak dapat ditentukan ambang aman asap rokok di suatu lingkungan. Tidak terkena asap rokok adalah cara paling baik menghindari risiko masalah kesehatan karena asap rokok.

Asap rokok juga membahayakan janin, mengganggu perkembangan janin dalam kandungan wanita hamil. Wanita hamil yang merokok pasif biasanya melahirkan bayi yang berberat badan rendah atau cacat karena tidak sempurnanya pembentukan dan perkembangan janin. Dalam sebuah penelitian di Inggris, terbukti adanya hubungan antara ibu-ibu yang merokok pasif dengan kematian anak yang mendadak. Anak-anak yang orang tuanya merokok umumnya sering batuk, berdahak, dan bersin-bersin. Meskipun tampak ringan, gangguan kesehatan ini menghambat kegiatan anak-anak.

Kaum usia lanjut, serta mereka yang mengidap asma serta gangguan jantung, juga sangat rentan terhadap asap rokok. Dampak umum ETS yang segera adalah iritasi mata, hidung dan tenggorokan, sakit kepala, gejala-gejala mirip asma, serta menurunnya kinerja. ETS juga berhubungan dengan timbulnya gangguan bronkitis, radang paru dan asma.

30 menit paparan asap rokok cukup untuk memperkecil aliran darah ke jantung, mengakibatkan perubahan akut fungsi jantung dan penurunan rata-rata detak jantung, sehingga meningkatkan risiko terkena penyakit jantung. Paparan asap rokok dalam sekejap waktupun dapat menyebabkan melengketnya keping darah sehingga menghambat peredaran darah, yang jika menggumpal dapat menyebabkan serangan jantung. Di Inggris, diperkirakan sekitar 1/5 dari total kematian kaum pekerja (20-64 tahun) disebabkan asap rokok di lingkungan kerja.

Penyebaran asap rokok di kantor apalagi secara terus menerus dapat meningkatkan jumlah hari tidak masuk kerja (absentisme), menurunkan produktivitas, mempersingkat usia kerja karena penyakit, meningkatkan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan perorangan atau perusahaan, meningkatkan biaya kebersihan kantor, memperbesar risiko terhadap kerusakan karena asap dan api.

Berapa besar asap rokok yang dihirup di setiap tempat tentu bervariasi, tergantung jumlah perokok, rokok yang dihisap, ukuran ruang dan jenis ventilasi. Maka, sulit menentukan akibatnya secara terpisah-pisah. Selama ini, masyarakat merasa cukup aman dengan pemisahan area merokok dengan area bebas kegiatan merokok, padahal area terakhir ini tidak berarti pembebasan penuh dari asap rokok dan dampaknya. Pemisahan ruang tanpa pemisahan pengatur udara tidak berpengaruh banyak pada pembebasan ruangan bebas kegiatan merokok dari asap rokok.

Lebih jauh lagi, dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa teknologi ventilasi atau penyaringan udara yang ada saat ini, belum ada yang mampu menghilangkan sepenuhnya asap rokok atau sisa asap rokok dari suatu ruangan. Jadi, tidak memperkenankan merokok dalam ruangan (indoor) ataupun di lingkungan publik, dianggap berbagai ahli memang merupakan satu-satunya cara jitu membebaskan lingkungan ruangan dari dampak asap rokok.

Karenanya, Departemen Kesehatan sangat menghargai Pemerintah Daerah, organisasi masyarakat, lembaga pendidikan, pengusaha, dan berbagai kalangan yang telah berusaha menerapkan kawasan tanpa asap rokok. Pesantren Langitan mengharuskan para santri untuk tidak merokok, terutama di lingkungan pesantren. Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, serta Pemerintah Kota Bogor DAN Cirebon telah menerapkan larangan merokok di tempat-tempat umum dan keharusan area publik menyediakan ruang khusus merokok.

Dusun Bone-Bone di Enrekang, 5 jam berkendaraan mobil dari Makassar, Sulawesi Selatan lebih hebat lagi. Kepala Dusun berpenduduk 542 jiwa ini berinisiatif menjadikan seluruh bagian dusunnya sebagai kawasan tidak merokok. Inisiatif ini dipicu oleh adanya warga dusun yang pulang kampung karena sakit paru-paru kronis yang diakibatkan menghirup asap rokok di tempat kerjanya. Pertanyaan yang menggelayuti Pak Idris saat itu,"Kalau perokok pasif saja bisa terkena penyakit, apalagi yang merokok, ya?" Maka ditetapkanlah aturan untuk tidak merokok di Bone-Bone. Untuk secara langsung menyampaikan terima kasih atas partisipasi mandirinya menyehatkan masyarakat, Depkes mengundang Kepala Dusun Bone-Bone untuk menerima penghargaan di Jakarta.

Pertanyaan lanjutan bagi warga kota, kalau masyarakat desa yang masih bisa menghirup udara luar yang bersih saja, keberatan mencemari lingkungannya dengan asap rokok, mestinya masyarakat kota bisa memperkecil polutan yang dihirupnya lewat pembebasan asap rokok di lingkungan dalam ruangan. Setidaknya dimulai dari rumah dan tempat kerja, melindungi anak-anak dan teman kerja kita. Memberikan kepada orang-orang tercinta kita, salah satu hak asasi mereka: pilihan untuk mengirup udara bebas dari asap rokok.

Sumber : www.depkes.go.id
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=34

Menyongsong Lanjut Usia Tetap Sehat dan Berguna

Salah satu indikator utama tingkat kesehatan masyarakat adalah meningkatnya umur harapan hidup (UHH). Tahun 2004, UHH penduduk Indonesia adalah 66,2 tahun, kemudian meningkat menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006. Tahun 2009, UHH diharapkan mencapai 70,6 tahun. Sensus Penduduk tahun 1990 menunjukkan jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas besarnya 6,4% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, atau sekitar 11,3 juta jiwa. Berdasarkan proyeksi Biro Pusat Statistik, pada tahun 2000 jumlahnya meningkat menjadi 7,4% atau sekitar 15,3 juta jiwa. Diperkirakan pada tahun 2005-2010 jumlah penduduk usia lanjut (Usila) akan sama dengan jumlah Balita yaitu 8,5% dari jumlah penduduk atau sekitar 19 juta jiwa.

Secara alamiah, proses menjadi tua mengakibatkan kemunduran kemampuan fisik dan mental. Secara umum, lebih banyak gangguan organ tubuh dikeluhkan oleh para warga senior, lebih banyak pula yang menderita penyakit kronis. Dengan demikian, fokus atau pendekatan utama pelayanan atau upaya kesehatan bagi Usila perlu mengakomodir dan dikaitkan dengan proses degeneratif yang dialami penduduk Usila.

Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia (Lansia) yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23 %). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia.

Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Dr. Sri Astuti Suparmanto, MSc (PH) pada seminar sehari dalam memperingati Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN), di kantor Depkes, 28 Juni 2007, menyatakan pemerintah telah merumuskan kebijakan, program dan kegiatan bagi para Usila. Tujuan bahwa program Usila adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia agar tetap sehat, mandiri dan berdaya guna sehingga tidak menjadi beban bagi dirinya sendiri, keluarga maupun masyarakat. Aspek-aspek yang dikembangkan adalah dengan memperlambat proses menua (degeneratif). Bagi yang merasa sudah tua perlu dipulihkan (rehabilitatif) agar tetap mampu mengerjakan kehidupan sehari-hari secara mandiri. Ini dimungkinkan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan tentang manusia berusia lanjut (Geriatri).

Seseorang dianggap dapat berhasil menjalani proses penuaan jika dapat terhindar dari berbagai penyakit, organ tubuhnya tetap berfungsi baik, serta kemampuan berpikirnya (kognitif) masih tajam. Para Usila yang berhasil mempertahankan fungsi gerak dan berpikirnya dianggap berhasil menghadapi penuaan (successful aging) sehingga tetap dapat bekerja aktif terutama di sektor informal. Mereka biasanya dapat berbagi pengalaman dan telah mencapai tahap perkembangan psikologis dimana mereka dianggap bijaksana menyikapi kehidupan dan mendalami kehidupan spiritual.

Agar tetap atif sampai tua, sejak muda seseorang perlu melakukan kemudian mempertahankan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang, melakukan aktivitas fisik/olahraga secara benar dan teratur dan tidak merokok. Rencana hidup yang realistis seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak bila pensiun sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Berdasarkan prinsip tersebut maka lanjut usia merupakan usia yang penuh kemandirian baik dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari, bekerja maupun berolahraga. Dengan menjaga kesehatan fisik, mental, spiritual, ekonomi dan social, seseorang dapat memilih masa tua yang lebih membahagiakan, terhindar dari banyak masalah kesehatan.

HLUN ditetapkan pada tanggal 29 Mei 1996 dan setiap tahunnya diperingati. Tahun 2007, HLUN mengangkat tema "Lanjut Usia Sehat, Aktif dan Berkarya dalam Pembangunan Bangsa". Melalui tema ini diharapkan dapat memotivasi dan menggerakkan para lanjut usia, keluarga, organisasi sosial, masyarakat dan dunia usaha dalam meningkatkan kesejahteraan lanjut usia dengan mengembangkan jiwa dan semangat kesetiakawanan social.

Sumber: Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan RI

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=52

Tantangan Dalam Pengendalian Tuberkulosis

Indonesia adalah Negara dengan burden disease ketiga di dunia dalam hal tuberkulosis. Setiap tahun diperkirakan timbul lebih dari setengah juta kasus baru, dan terutama menimpa usia produktif. Oleh karena itu, pengendalian yang efektif perlu terus dilakukan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Karena vaksin yang efektif belum tersedia, maka pengendalian TB masih bertumpu pada pengobatan yang bermutu tinggi serta strategi pengobatan yang benar.



Program yang sekarang berjalan yaitu DOTS (Directly Observed Short Course Treatment) telah terbukti sebagai strategi yang baik dalam mencapai pengendalian optimum. Meski demikian, perlu juga disadari bahwa implementasi program ini memiliki risiko, yaitu terjadi seleksi terhadap kuman-kuman yang resisten. Kuman mono, poli, multi (MDR) dan super resisten (XDR) merupakan masalah yang harus diantisipasi dan diminimalisasi. Untuk itu diperlukan dua strategi dasar yaitu: (1)pendekatan program dengan strategi DOTS dimana pengobatan dilaksanakan berdasarkan terapi empirik dan (2) pendekatan individualistic dimana pengobatan dimulai dengan terapi empiric dan kemudian dapat diselaraskan dengan hasil uji resistensi.



Menurut Prof. Dr. Agus Sjahrurachman, SpMK, dari Departemen Mikrobiologi Klinik, pendekatan apapun yang dipakai, harus dimulai dengan penegakan diagnosis yang akurat dan dapat memandu pengobatan yang memberikan angka kesembuhan tertinggi. Diagnosis laboratorik TB paru pada dewasa lebih ditekankan pada pemeriksaan mikrobiologi. “Pemeriksaan mikroskopik dahak yang diambil tiga kali mempunyai sensitifitas mencapai 80%, namun pemeriksaan ini tidak bisa dipakai untuk pendekatan individualistik,” ujar Agus pada acara 4th Symposium of Indonesia Antimicrobial Resistance Watch (IARW) yang diselenggarakan 29 Juni-1 Juli 2007 di Hotel Borobudur, Jakarta.



Selain pemeriksaan mikroskopik, ada juga pemeriksaan amplikasi asam nukleat. Tapi sayang, pemeriksaaan ini tidak lebih sensitif ketimbang pemeriksaan mikroskopik. Pada beberapa kit, pemeriksaan amplikasi asam nukleat dapat pula mendeteksi non tuberkulosis mycobacteria (NTM). Pemeriksaan ini juga sangat kurang memadu pemilihan kombinasi obat. Sedangkan pemeriksaan berdasarkan respon imun, baik berupa deteksi antibodi maupun interferon, masih belum memenuhi harapan.



Melihat fakta tersebut, salah satu alternatif yang tersedia dalam diagnostik TB adalah dengan pemeriksaan kultur yang dilanjutkan dengan uji kepekaan. Di samping itu, cara pemeriksaan ini bisa memandu pemilihan obat yang terbaik. Namun yang jadi masalah adalah bagaimana pengelolaan limbah dari kultur. Misalnya saja, BACTEC460 merupakan cara yang dianggap paling akurat baik untuk kultur maupun uji kepekaan, namun sayangnya bermasalah dalam pengelolaan sisa radioaktifnya.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=54

Merokok Selama Hamil Tingkatkan Risiko Melahirkan Bayi Cacat

Rasanya, hal pertama yang dilakukan oleh hamper semua orang tua saat kelahiran bayinya adalah melihat apakah si jabang bayi sempurna atau cacat. Untuk wanita yang merokok selama hamil, sebaiknya memiliki persiapan mental ekstra. Pasalnya, bisa jadi mereka memperoleh kejutan yang kurang menyenangkan. Menurut sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Plastic and Reconstructive Surgery, wanita yang merokok selam hamil memiliki peningkatan risiko melahirkan bayi dengan cacat jari tangan atau kaki.

"Merokok mempengaruhi penghantaran oksigen ke sel. Jika sel kekurangan atau tidak memperoleh oksigen, maka proliferasi sel tidak terjadi sebagaimana seharusnya sehingga berpotensi terjadinya kelainan tungkai atau lengan," jelas Dr. Manuel Alvarez, Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi Hackensack University Medical Center, New Jersey.

Sekitar 1 dari 9 calon ibu merokok, demikian yang ditemukan oleh March of Dimes. Bila tidak ada wanita merokok, maka angka kelahiran mati bisa berkurang hingga 11% dan kematian bayi baru lahir turun sekitar 5%. Merokok juga meningkatkan risiko kelahiran bayi prematur, bayi lahir dengan bobot badan rendah, dan serebral palsi pada bayi.

Cacat tungkai atau lengan bukannya hal yang tidak umum. Sekitar 1 dari 600 bayi lahir dengan jari tambahan, biasa disebut juga dnegan polydactyly. Seorang bayi lahir dengan selaput di sela jari, syndactyly, terjadi pada 1 dari tiap 2.000-2.500 kelahiran. Bayi lahir dengan jari kurang disebut adactyly. Jari berselaput lebih umum dijumpai pada bayi kulit putih, sementara jari berlebih lebih umum pada bayi kulit hitam. Biasanya, cacat ini terjadi pada bayi tanpa riwayat keluarga seperti cacat lahir. Hal ini mengiring penelitian yang mengarah pada kecurigaan kecacatan terjadi karena pengaruh lingkungan.

Setelah menyaring sekitar 7 juta bayi yang lahir dari tahun 2001-2002, peneliti dari University of Pennsylvania menemukan hampir 5.200 bayi lahir dari wanita yang merokok, mengalami cacat jari tangan atau kaki. Tak satu pun dari wanita yang merokok tersebut memiliki gangguan kesehatan lainnya, seperti tekanan darah tinggi atau diabetes.

Penelitian ini menemukan, semakin sering wanita merokok, semakin besar kemungkinan melahirkan bayi dengan cacat jari kai atau tangan. Wanita yang merokok lebih satu bungkus sehari mengalami peningkatan 78% mempunyai bayi dengan cacat jari kaki atau tangan, sementara wanita yang merokok 11-20 rokok tiap hari mengalami peningkatan risiko 38%. Mereka yang merokok sekitar 10 atau lebih sedikit per hari meningkatkan risiko sekitar 29%.

Temuan ini menjadi satu alasan tambahan lain agar wanita hamil menghindari merokok. Masalah lain dengan merokok selama hamil adalah meningkatnya pendarahan, keguguran, kelahiran bayi prematur, atau bayi lahir dengan berat badan rendah. Bayi yang lahir dari wanita yang merokok lebih banyak yang mengalami gangguan pernapasan dan memiliki tingkat intelengensia (IQ) lebih rendah. Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi menaglami SIDS. Dan kini, kita punya bukti bahwa mereka memiliki peningkatn risiko cacat tungkai atau lengan hingga 30%. Selain menghindari rokok aktif, wanita hamil sebaiknya juga berupaya jangan sampai jadi perokok pasif.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=69

Efek Timbal Balik, Serangan Jantung Vs Diabetes

Selama ini telah sangat dikenal bahwa diabetes merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya serangan jantung. Tapi kini juga ditemukan bahwa serangan jantung sebaliknya juga merupakan faktor predisposisi untuk diabetes. Keduanya saling memberi efek timbal balik dengan dua proses berbeda. Fakta ini ditemukan oleh studi teranyar yang hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Lancet.

Menurut temuan baru tersebut, setelah mengalami suatu serangan jantung, risiko seseorang berkembang menjadi diabetes dan pra-diabetes meningkat secara tajam. Pasien yang baru saja mengalami serangan jantung adalah 4,5 kali lebih cenderung berkembang menjadi diabetes dan 15 kali lipat mengalami pra-diabetes, dibandingkan dengan populasi umum.

Pada studi, tim yang dipimpin oleh Dr. Roberto Marchioli, dari Laboratory of Clinical Epidemiology of Cardiovascular Disease, Consorzio Mario Negri Sud, Chieti, Italia ini mengumpulkan data hampir 8.300 pasien Italia yang menderita serangan jantung dan tidak pernah mengalami diabetes sebelumnya. Setelah lebih dari 3,5 tahun pasca serangan jantung, sepertiga pasien berkembang menjadi diabetes atau gangguan resistensi insulin ( prekursor diabetes). Saat menggunakan ambang yang lebih rendah untuk pengukuran gula darah, maka sekitar 62 % pasien didefinisikan sebagai diabetik.

Temuan ini memperlihatkan hubungan lebih lanjut antara serangan jantung dan gula darah yang saling mempengaruhi antara keduanya. Ini akan menjadi peringatan bagi pasien akan risiko fatal dari lingkaran setan ini. Oleh karena itu harus diupayakan pencegahan agar tidak terjadi peningkatan risiko. Peneliti juga melihat seseorang yang kelebihan berat badan, merokok, diet tidak sehat, serta peminum berat bisa meningkatkan risiko berkembang menjadi diabetes pasca serangan. Hal inilah yang mungkin bisa dihindari.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=78

Tips Berpuasa Bagi Penderita Diabetes

Mulai besok hingga sebulan penuh, semua umat Islam menjalani ibadah wajib yang disebut dengan puasa. Adakalanya karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan, ibadah berpuasa terpaksa ditinggalkan.Misalnya pada penderita diabetes melitus. Penyakit yang sering juga disebut kencing manis atau penyakit gula ini adalah suatu penyakit kronik yang tidak bisa disembuhkan. Tetapi meskipun tidak bisa disembuhkan, kadar gula darah bisa dikendalikan sehingga diharapkan penderitanya dapat terhindar dari komplikasi akut maupun kronik.



Penderita diabetes bisa hidup normal seperti orang-orang yang tidak mengidap diabetes, termasuk dalam hal berpuasa. Pertanyaan yang sering timbul adalah, apakah penderita diabetes boleh berpuasa? Dengan berpuasa apakah akan berbahaya atau justru bisa mengendalikan kadar gula darahnya?



Banyak penelitian tentang penderita diabetes yang berpuasa, yang semuanya memperlihatkan tidak adanya efek buruk yang terjadi selama berpuasa. Asalkan, glukosa darah cukup terkontrol dan mengikuti petunjuk dokter.



Pada penderita diabetes, terdapat kekurangan jumlah dan atau kualitas insulin, sehingga kemampuan menyimpan sisa energi yang masuk menjadi berkurang. Untuk penderita yang gula adrahnya terkontrol, cadangan energinya madsih relatif cukup baik. Tapi pada penderita diabetes yang tidak terkontrol, masalahnya adalah cadangan energi tidak mencukupi, sehingga akan terjadi pemecahan sumber energi lain seperti lemak lebih awal yang mengandung risiko terjadinya komplikasi akut (ketoasidosis). Atau bila tidak berhati-hati dalam pengaturan obatnya, bisa mengakibatkan hipoglikemi.



Dr. Imam Subekti SpPD membagikan tips cara berpuasa bagi penderita diabetes dalam buku Tips Berpuasa Ramadhan Pada Berbagai Penyakit Kronis.



Untuk memudahkan panduan berpuasa pada penderita diabetes, maka penderita diabetes dibagi menjadi beberapa kelompok.



Kelompok I

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penderita diabetes yang kadar gula darahnya terkontrol dengan perencanaan makanan dan olahraga. Penderita diabetes kelompok ini bisa berpuasa tanpa masalah dengan tetap memperhatikan pengaturan makan dan aktivitas fisik.



Kelompok II

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penderita diabetes yang memerlukan obat diabetes untuk mengontrol kadar gula darahnya. Untuk yang membutuhkan dosis tunggal dan kecil, misalnya 1 kali sehari, maka ia bisa menggeser waktu minum obat. Yakni dari pagi hari ke sore hari saat berbuka puasa.



Sedangkan yang membutuhkan obat diabetes dengan dosis lebih tinggi dan lebih dari satu kali sehari (misal pagi dan sore hari), maka bisa berpuasa dengan menggeser minum obat. Obat yang biasa diminum pagi digeser ke sore waktu berbuka dan obat yang biasa diminum sore digeser saat sahur.



Apabila biasa minum obat 3 kali sehari, maka obat pagi dan siang diminum pada saat berbuka, dan obat sore digeserkan saat makan sahhur dengan dosis setengahnya.



Kelompok III

Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penderita diabetes yang membutuhkan/tergantung insulin. Untuk yang membutuhkan suntikan insulin satu kali sehari, suntikan insulin bisa digeser ke saat berbuka. Sebenarnya untuk kelompok ini dengan motivasi yang kuat dan pemantauan yang baik, dan dengan pengawasan ekstra ketat, khususnya bagi yang berisiko hipoglikemia, bisa melakukan ibadah puasa.



Tetapi bagi penderita yang mebutuhkan insulin dua kali atau lebih dalam sehari, kelompok ini dianjurkan tidak berpuasa,karena dianggap gula darahnya tidak stabil.



Pasien yang membutuhkan kombinasi obat diabetes oral dan insulin satu kali sehari, boleh tetap berpuasa dengan pengaturan minum obat seperti pada kelompok II dan suntikan insulin saat berbuka.



Sedangkan kelompok yang membutuhkan kombinasi obat diabetes oral dan insulin dua kali atau lebih dalam sehari, dianjurkan tidak berpuasa karena dianggap gula darahnya tidak stabil.



Bagaimana Pola Makannya?

1. Di dalam perencanaan makan penderita diabetes yang berpuasa, jumlah asupan kalori sehari selama bulan puasa kira-kira sama dengan jumlah asupan kalori sehari-hari yang dianjurkan saat tidak berpuasa.



2. Yang perlu diatur adalah pembagian porsi makan sebagai berikut: 40% dikonsumsi waktu sahur, 50% waktu berbuka, dan 10% malam sebelum tidur (sesudah sholat tarawih).



3. Makan sahur sebaiknya dilambatkan.



4. Lakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan wajar seperti biasa. Dianjurkan untuk istirahat setelah Dzuhur.



5. Terus lakukan pemantauan terhadap kadar gula darah dengan glukometer, jangan sampai terjadi hipoglikemia, yakni kadar gula darah yang terlalu rendah.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=85

Inisiasi Menyusui Dini, Langkah Awal Selamatkan Penerus Bangsa

“Dimulai dari kelahiran. Langkah pertama kita setelah lahir adalah mengisap susu ibu. Ini adalah perilaku kasih saying dan cinta. Tanpa itu, kita tidak dapat bertahan. Itu sangat jelas. Itu adalah langkah kehidupan. Itu kenyataan.” (Dalai Lama and Howard C. Cutler, The Art of Happiness: A Handbook for Living, 1998).



Pernyataan ini mendukung tindakan inisiasi menyusui dini yang terbukti secara ilmiah bisa mencegah 22% kematian bayi baru lahir. Inisiasi menyusui dini dilakukan dengan meletakkan bayi di dada ibu, segera setelah bayi dilahirkan agar bisa langsung menyusui. Sebagai makanan tunggal terbaik, air susu ibu (ASI) memenuhi semua kebutuhan tumbuh kembang bayi sejak lahir hingga berusia 6 bulan. ASI yang pertama keluar berwarna kuning yang berjumlah sedikit, disebut juga kolostrum, mengandung zat-zat yang sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi, yang tidak dapat diperoleh dari susu formula. Nah, tindakan inisiasi dini ini akan membantu bayi mendapatkan kolostrum tadi, meningkatkan produksi ASI, serta membangun jalinan kasih sayang antara ibu dan bayi.



Bertepatan program 100 hari kerja Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo yang peduli pada kesehatan, khususnya ibu, bayi, dan anak, sekitar 1001 ibu hamil dari wilayah Provinsi DKI Jakarta bersama menyatakan komitmen melakukan insiasi dini. Pernyataan komitmen 1001 ibu hamil ini diselenggarakan di Jakarta Convention Centre (JCC), pada 23 Januari 2008. Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat komitmen ini sebagai bentuk kesadaran kolektif ibu hamil melakukan inisiasi menyusui dini dalam skala besar yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi perempuan Indonesia yang sejak awal bertekad hanya memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya sejak lahir.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=97

Pantangan Bagi Wanita Hamil

Selama hamil, seorang wanita harus benar-benar menjaga agar makanan dan minuman yang dikonsumsinya sarat gizi dan tidak membahayakan bagi janin yang dikandungnya. Misalnya saja, wanita hamil sebaiknya menghindari minuman beralkohol karena berbahaya bagi si buah hati. Selain itu, American Pregnancy Association juga mengingatkan untuk menghindari makanan sebagai berikut :

· Makanan mentah termasuk daging, ikan, kerang, dan telur yang tidak dimasak

· Daging asap dan seafood asap, yang mungkin menjadi tempat bertengger bakteri yang berbahaya bagi wanita hamil dan jabang bayi.

· Keju lunak atau yang tidak dipasturisasi, kepala susu dan susu yang tidak dipasteurisasi.

· Kopi

· Ikan yang mengandung merkuri, termasuk hiu, ikan pedang, mackarel, dan tilefish

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=98

Anak Indonesia Belum Bebas dari Asap Rokok

Anak-anak pun tak luput dari serangan promosi industri rokok. Demikian hasil riset kuantitatif tentang persepsi dan perilaku merokok di kalangan perempuan muda yang dilakukan KuIS (Koalisi untuk Indonesia Sehat) pada 3.040 responden perempuan muda pada akhir tahun 2007.

Data membuktikan bahwa tidak kurang dari 70% responden ternyata terpapar promosi rokok pada kegiatan olah raga, konser musik, maupun acara di sekolahnya. Bahkan, lebih dari 10% responden usia 13-15 tahun dan 14.5% responden usia 16-19 tahun mengaku pernah ditawari sample rokok secara gratis dalam kegiatan promosi.

Kenyataan ini patut disayangkan mengingat pembagian sample gratis produk tembakau dilarang dalam peraturan yang ada (PP No.19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan). “Salah satu tantangan adalah penegakan hukum yang belum optimal dan kurangnya perlindungan kepada anak terhadap asap rokok,” ujar Firman Lubis, Ketua Dewan Eksekutif KuIS. Meskipun Pemerintah telah mengesahkan UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai Peraturan yang melarang anak-anak merokok.

Lebih memprihatinkan lagi, para perokok biasanya kurang peduli apakah di sekitarnya ada anak-anak ataukah tidak. Akibatnya, anak-anak bukan hanya menjumpai kepulan rokok di tempat umum, tapi banyak di antara mereka yang terpapar asap rokok di rumahnya. Hasil riset KuIS membuktikan 51.67% responden usia 13-15 tahun kadang-kadang mendapati orang lain merokok di rumahnya, padahal saat itu mereka sedang berada di rumah. Bahkan terdapat 26.13% anak yang menyatakan ‘sering’ menjumpai orang lain merokok di rumahnya. Tenyata membebaskan anak Indonesia dari asap rokok masih menjadi mimpi.

Menurut Firman Lubis kepedulian semua orang dewasa terhadap dampak asap rokok pada anak akan bisa membantu menyelamatkan fungsi otak dan kesehatan anak-anak, serta menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosialnya secara utuh.”Karena itu, KuIS mengajak pemerintah, akademisi, pihak swasta, LSM, media massa, praktisi yang peduli terhadap masalah ini mencari solusi bersama tentang cara yang mungkin dilakukan dan efektif untuk melindungi anak Indonesia dari bahaya rokok,” ujar Firman.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=106

Kenapa Bayi Anda Menangis ?

Kehadiran si kecil di rumah sebuah pasangan baru, tentulah jadi hal yang sangat mengembirakan. Buah hati yang selama ini diidamkan, akhirnya lahir juga . Wajahnya yang mungil, tak berdosa, imut dan lucu, menjadi penghibur hati di kala susah dan gundah. Tapi apa jadi kalau si kecil sering kali menangis. Bagi Anda sebagai orang tua baru, tentu hal ini sangat membingungkan, karena Anda tidak tahu apa mau si kecil yang belum bisa berbicara itu. Namun jangan panik! Berikut langkah-lanngkah yang harus Anda tempuh bila bayi Anda menangis :

Pastikan popok atau pampers-nya dalam keadaan bersih
Cobalah untuk menyusuinya, siapa tahu si kecil lagi lapar
Periksa pakaiannya, pastikan tidak terlalu tebal hingga jadi gerah atau terlalu tipis hingga kedinginan. Kenakanlah pakaian yang paling nyaman buatnya
Cobalah untuk membujuknya dengan menggendongnya, ajak naik kendaraan, atau bertepuk tangan.
Mandikan si kecil dengan air hangat
Nyalakan musik lembut dan menenangkan
Bicara dengan lembut padanya sambil menyentuh pipi dan mengusap kepalanya
Bila si kecil tidak mau diam juga, cobalah berkonsultasi pada dokter anak Anda

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=111

Waspadai Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan

Perubahan iklim merupakan tantangan yang paling serius saat ini. Dampak perubahan iklim sudah ada didepan mata kita. Bukti ini terlihat dari munculnya fenomena peningkatan suhu global, ketidakpastian musim, kekeringan yang berkepanjangan, permukaan es kutub utara yang semakin tipis dan kebakaran hutan. Hal itu disampaikan Menteri Kesehatan Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K) pada seminar Sehari "Protecting Health From Climate Change" yang dibacakan Dirjen P2PL Depkes dr. I. Nyoman Kandun, MPH di Jakarta 7 April 2008.

Seminar diselenggarakan dalam memperingati Hari Kesehatan Sedunia ke-60 tanggal 7 April 2008. Tema yang dipilih adalah "Protecting Health from Climate Change". Sedangkan Indonesia menetapkan tema "Perlindugan Kesehatan dari Perubahan Iklim".

Perubahan suhu yang ekstrim berhubungan dengan kematian dan kejadian kesakitan seperti heatstroke, frozenbyte, sun-burn, dan stres. Perubahan suhu, kelembaban dan kecepatan angin juga dapat meningkatkan populasi, memperpanjang umur dam memperluas penyebaran vektor sehingga berdampak terhadap peningkatan kasus penyakit menular seperti : malaria, dengueyellow fever, schistosomiasis, filariasis dan pes.

Menkes menambahkan, perubahan iklim menyebabkan terjadinya bencana banjir, tsunami, kekeringan, badai, tanah longsor dsb, sehingga mempengaruhi keterbatasan air bersih, kebutuhan sanitasi dasar, ketersediaan pangan yang akan menimbulkan masalah gizi dan menyebabklan rentan terhadap penyakit seperti water birne diseases dan food borne diseases.

Perubahan iklim juga mempengaruhi radiasi ultraviolet dan pencemaran udara yang dapat menimbulkan reaksi alergis dan infeksi karena debu dan bahan kimia yang terjadi sebagai pengaruh cuaca atau polusi udara seperti penyakit-penyakit saluran pernafasan. Berbagai penyakit diduga berkaitan dengan perubahan cuaca antala lain stroke, meningitis, katarak dan lain-lain.

Dampak perubahan iklim dapat dilihat dari batas musim hujan dan kemarau yang tidak lagi pasti. Suhu udara samakin panas, kemarau sering menjadi sangat panjang dan lamanya curah hujan menimbulkan banjir serta longsor. Gejolak alam yang dikenal dengan perubahan iklim ini mempengaruhi daya dukung alam terhadap kelangsungan hidup manusia.

Banjir meningkatkan risiko penyebaran leptospirosis, diare, kolera. Namun masalah perubahan iklim tidak sekadar banjir. Kenaikan suhu udara (di Indonesia mencapai 1°C di tahun 1998) menyebabkan masa inkubasi vekyor semakin pendek sehingga nyamuk malaria dan demam berdarah dapat berkembang biak lebih cepat. Jika tahun 1998 di Jawa-Bali terdapat 18 kasus Malaria per 100.000 penduduk, maka tahun 2000 meningkat menjadi 48 per 100.000 penduduk. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) juga meningkat setiap tahunnya, meski persentase kasus yang meninggal dapat terus diperkecil dengan penanganan medis.

Perubahan alam juga mempengaruhi pola perilaku dan perkembangan hewan yang berdampak pada peningkatan kasus penyakit yang penyebarannya terjadi melalui hewan. Suhu, kelembaban dan kecepatan angin dapat meningkatkan populasi, memperpanjang umur, dan memperluas penyebaran hewan pembawa penyakit. Sebagai contoh, daerah hidup nyamuk meluas ke dataran yang lebih tinggi. Musim kemarau panjang menyebabkan tikus hutan berpindah ke pemukiman, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran pes.

Perubahan iklim juga mengganggu ketersediaan pangan. Peningkatan permukaan air laut karena melelehnya es di kutub, merusak ekosistem hutan bakau, menyebabkan intrusi air laut ke daratan sehingga air tawar semakin sulit didapat, serta mempersempit daratan yang digunakan untuk sektor pertanian. Air tawar semakin sulit diperoleh, dan kesulitan memperoleh air bersih menambah masalah dalam memerangi penyakit yang berhubungan dengan sanitasi.

Pemanasan air laut serta makin seringnya terjadi badai laut mempengaruhi sektor perikanan sebagai salah satu sumber pangan. Keterbatasan bahan pangan juga diakibatkan rusaknya siklus tanaman dan panen, selain kemarau panjang, banjir, dan longsor. Keterbatasan pangan tentunya menyumbang pada asupan gizi, kemudian kesehatan dan produktivitas penduduk. Upaya manusia membuka hutan untuk bertani, malah menyumbang pada perubahan iklim, karena hutan berfungsi menyerap gas rumah kaca (GRK) dan mengubahnya menjadi O2.

GRK adalah gas yang menghadang dan menyerap gelombang cahaya yang seharusnya memantul ke angkasa luar, menyebabkan radiasi matahari terperangkap di atmosfer bumi, dan meningkatkan suhu bumi. Tiga GRK utama adalah Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (N2O), dan Metana (CH4). CO2 dan N2O terutama dihasilkan oleh pembakaran minyak bumi, gas dan batubara, serta kebakaran hutan yang diperlukan bagi energi listrik, menggerakkan transportasi dan industri. Polusi CO2 dan N2O sendiri sebenarnya telah memperburuk daya dukung lingkungan terhadap kesehatan, menimbulkan gangguan kesehatan dari gangguan pernafasan hingga stroke, bahkan kanker.

Metana adalah hasil proses pada sawah tergenang, pupuk, serta pengolahan sisa pertanian. Kotoran ternak, bahkan hembusan nafas ternak secara alami juga melepaskan Metana ke udara. Metana juga dilepaskan dari proses alami sampah, dan CO2 dihasilkan pembakaran sampah.

Melindungi diri dari perubahan iklim dibagi atas upaya mitigasi (minimalisasi penyebab dan dampak) dan adaptasi (menanggulangi risiko kesehatan), yang seringkali tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Hemat adalah salah satu kuncinya. Reduksi pembakaran bahan bakar fosil dengan menghemat pemakaian listrik dan kendaraan bermotor. Hemat bahan pangan memperkecil produksi metan. Minimalisasi limbah dapat dilakukan dengan penghematan penggunaan kertas, plastik, dan melakukan daur ulang. Pemisahan sampah organik dan non-organik adalah hal yang mudah dilakukan namun sulit dimasyarakatkan. Ada baiknya kini mulai dimasyarakatkan.

Demi paru-paru kita, hijaukan lingkungan dengan pepohonan, jaga hutan, dan hentikan pembakaran hutan. Gunakan kelambu, hindari gigitan nyamuk. Cermati celah-celah dimana nyamuk bisa berkembang biak, bersihkan bersama dengan membersihkan lingkungan. Membersihkan lingkungan dapat memperkecil kemungkinan berkembang biaknya serangga dan hewan yang dapat menyebarkan penyakit. Ajak semua saudara dan tetangga bekerja bakti. Ajak semua untuk melindungi diri dari perubahan iklim.

Sumber: Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=120

Puasa Aman untuk Penderita Penyakit Kronis

Puasa di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi kaum muslim. Namun pada kondisi tertentu, umat Islam diperbolehkan tidak berpuasa, misalnya orang lanjut usia atau tengah menderita sakit. Namun ada kiat khusus bagi penderita penyakit kronis ataupasien geriatri agar mampu menjalankan puasa dengan baik dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan.

Beberapa waktu lalu menjelang bulan puasa, Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI mengadakan seminar Tetap Sehat dan Bugar selama Puasa. Puasa berarti membatasi jumlah kalori yang masuk ke tubuh. Berbagai penelitian pada binatang menunjukkan bahwa pembatasan kalori bisa memperpanjang usia harapan hidup, meningkatkan kesehatan secara umum, menurunkan risiko berbagai penyakit dan sebagainya.

Untuk pasien geriatri, DR. Dr. Siti Setiati SpPD, KGer, MEpid, menjelaskan cara aman untuk kaum sepuh berpuasa. Survei Poliklinik Geriatri RSCM menunjukkan, sebagian besar pasien geriatri berpuasa di bulan Ramadhan, jumlahnya mencapai 76,50%. Mereka adalah pasien berusia 64-83 tahun dengan penyakit hipertensi, osteoartritis, diabetes melitus, menderita instabilitas dan penyakit arteri koroner.

Kebutuhan kalori pasien geriatri saat puasa sama dengan ketika tidak berpuasa. Untuk mencukupi kebutuhan kalori selama puasa, Siti Setiati menyarankan, pada saat sahur minimal tubuh mendapat 40% kalori, saat buka 50% kalori, dan sesudah tarawih 10% kalori. Yang perlu diperhatikan, adalah jangan sampai kekurangan cairan. Konsumsi cairan minimal 30-50 cc/kg BB/hari atau 8-10 gelas yang bias didapatkan saat buka, sahur maupun waktu sebelum tidur dan sesudah shalat tarawih. HIndari minum the/kopi karena akan memperbanyak kencing.

Dr. Dante Saksono Herbuwono dari Divisi Metabolik Endokrin menjelaskan puasa pada penderita diabetes melitus. Pada pasien DM, puasa akan merubah beban kerja sisitem metabolisme energi dan lemak. Puasa juga akan menurunkan gula puasa dan insulin. Pada pasien DM, energi saat puasa diperoleh dari cadangan energi melalui pembakaran lemak, cadangan di otot dan produksi di hati. Dengan begitu, kebutuhan energinya terpenuhi.

Untuk obat-obatan diabetes, perlu dilakukan penyesuaian dosis dan waktu pemberian. Bagi yang memerlukan suntikan insulin dua kali atau lebih disarankan tidak berpuasa. Pemantauan kadar gula harus terus dilakukan untuk mewaspadai kemungkinan hipoglikemia.

Selaian usia lanjut dan penderita diabetes, penderita gangguan lambung atau sakit maag kadang juga tidak berpuasa. Pada saat berpuasa, terutama setelah 6-8 jam kosong, akan terjadi peningkatan asam lambung yang dapat menyebabkan gejala sakit maag. Padahal, menurut Dr Ari Fahrial Syam SpPD, KGEH, penderita sakit maag dapat berpuasa terutama bila sakit maagnya hanya gangguan fungsional. Pasien sakit maag fungsional biasanya sakit maagnya timbul akibat makan tidak teratur, kebiasaan makan camilan berminyak dan minum minuman bersoda, dan juga merokok. Justru dengan puasa makannya menjadi teratur, dan kebiasaan makan tidak segat bias dihindari. Dengan demikian selama berpuasa penderita sakit maag fungsional akan lebih sehat dan keluhan sakit maagnya berkurang.

Diet sehat untuk penderita gangguan lambung selama puasa adalah, menghindari makanan yang banyak mengandung gas (nangka, kol), makanan yang merangsang pengeluaran asam lambung (kopi, minuman bersoda, alkohol), makanan yang sulit dicerna, makanan yang bisa merusak dinding lambung (cuka, merica, cabai), dan makanan yang melemahkan klep kerongkongan bawah sehingga menyebabkan cairan lambung dapat naik ke kerongkongan (alkohol, coklat, makanan berlemak).
(ana)

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=131

Durasi tidur dan risiko Penyakit Jantung

Berapa total durasi tidur Anda dalam sehari? Terlalu singkat atau justru berlebihan? Hati-hati. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kurang tidur atau terlalu banyak tidur tidak baik untuk kesehatan. Hal ini diperparah bila seseorang menderita diabetes dan hipertensi.

Penelitian baru yang dilakukan oleh tim dari Singapura dan Amerika mengumpulkan 58.044 pria dan wanita berusia rata-rata 45 tahun yang tidak punya riwayat penyakit jantung. Ternyata mereka yang dalam sehari memiliki waktu tidur kurang dari 5 jam atau lebih dari 9 jam berisiko meninggal karena penyakit kardiovaskular dalam beberapa tahun ke depan dibandingkan orang-orang yang tidur 7 jam sehari.

Hasil studi yang dimuat dalam American Journal of Epidemiology ini mendukung studi sebelumnya yang mengaitkan durasi tidur sebagai prediktor risiko penyakit jantung. Kebanyakan penelitian sejenis dilakukan di Negara Barat dan baru ada 3 studi lainnya di Jepang. Risiko penyakit jantung antara orang Asia dan barat dianggap berbeda karena da perbedaan dalam hal berat badan, gaya hidup, dan diet harian. Oleh karena itu, maka penelitian terbaru ini dilakukan di Singapura. Partsipan adalah keturunan Cina yang tinggal di Singapura. Dalam studi yang dimulai sejak 1998 dan berakhir 2006 ini, tercatat 1.416 orang meninggal karena penyakit jantung.

Mereka yang tidur 7 jam sehari memiliki faktor risiko penyakitjantung berbeda dengan yang tidur kurang dari 5 jam atau lebih dari 9 jam. Namuntidur berlebihan ternyata lebih berbahaya. Data menunjukkan, mereka yang tidur 5 jam atau kurang dalam sehari memiliki risiko kematian karena penyakit jantung sebesar 57 persen. Sedangkan yang tidur 9 jam atau lebih risikonya meningkat hingga 79 persen.
Diduga, tidur terlalu lama mengindikasikan kesehatan yang buruk. Peneliti kemudian menghilangkan durasi follow-up 4 tahun pertama dan mengecualikan penderita diabetes dan hipertensi. Hasilnya menunjukkan bahwa durasi tidur ini berkaitan dengan penyakit jantung. Tetapi saat penderita diabetes dan hipertensi dimasukkan dalam analisis, ditemukan bahwa kaitan antara durasi tidur dan kematian akibat penyakit jantung menjadi lemah. Dari hasil ini, disimpulkan bahwa diabetes dan hipertensi terkait dengan durasi tidur sama halnya dengan risiko kematian akibat penyakit jantung.

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_finenews.asp?IDNews=133

Atrial Myxoma

Introduction
Background

Atrial myxomas are the most common primary heart tumors. Because of nonspecific symptoms, early diagnosis may be a challenge. Left atrial myxoma may or may not produce characteristic findings on auscultation. Two-dimensional echocardiography is the diagnostic procedure of choice. Most atrial myxomas are benign and can be removed by surgical resection.
Pathophysiology

Myxomas account for 40-50% of primary cardiac tumors. Approximately 90% are solitary and pedunculated, and 75-85% occur in the left atrial cavity. Up to 25% of cases are found in the right atrium. Most cases are sporadic. Approximately 10% are familial and are transmitted in an autosomal dominant mode. Multiple tumors occur in approximately 50% of familial cases and are more frequently located in the ventricle (13% vs 2% in sporadic cases).

Myxomas are polypoid, round, or oval. They are gelatinous with a smooth or lobulated surface and usually are white, yellowish, or brown. The most common site of attachment is at the border of the fossa ovalis in the left atrium, although myxomas can also originate from the posterior atrial wall, the anterior atrial wall, or the atrial appendage. The mobility of the tumor depends upon the extent of attachment to the interatrial septum and the length of the stalk.

Although atrial myxomas are typically benign, local recurrence due to inadequate resection or malignant change has been reported. Occasionally, atrial myxomas recur at a distant site because of intravascular tumor embolization. The risk of recurrence is higher in the familial myxoma syndrome.1

Symptoms are produced by mechanical interference with cardiac function or embolization. Being intravascular and friable, myxomas account for most cases of tumor embolism. Embolism occurs in about 30-40% of patients. The site of embolism is dependent upon the location (left or right atrium) and the presence of an intracardiac shunt.

Jong-Won Ha and associates reported a more frequent occurrence of systemic embolism in polypoid tumors as compared to round (58% vs 0%).2 Also, polypoid tumors more frequently prolapse into the ventricle. Prolapse of a tumor through the mitral or tricuspid valve may result in the destruction of the annulus or valve leaflets. In one study, 19% of the patients had atrial fibrillation associated with large atrial myxoma. Left atrial myxomas produce symptoms when they reach about 70 g. Right atrial myxomas grow to approximately twice this size before becoming symptomatic. Tumors vary widely in size, ranging from 1-15 cm in diameter. Rate of growth is not exactly known. In one case report, right atrial myxoma had a growth rate of 1.36 x 0.03 cm/month.

Myxomas have been demonstrated to produce numerous growth factors and cytokines, including vascular endothelial growth factor, resulting in angiogenesis and tumor growth and an increased expression of the inflammatory cytokine, interleukin-6.3,4,5

Frequency
United States

Based upon the data of 22 large autopsy series, the prevalence of primary cardiac tumors is approximately 0.02% (200 tumors per million autopsies). About 75% of primary tumors are benign, and 50% of benign tumors are myxomas, resulting in 75 cases of myxoma per million autopsies.
International

Surgical incidence in the Republic of Ireland from 1977-1991 was 0.50 atrial myxomas per million population per year.
Mortality/Morbidity
Sudden death may occur in 15% patients with atrial myxoma. Death is typically caused by coronary or systemic embolization or by obstruction of blood flow at the mitral or tricuspid valve.
Morbidity is related to symptoms produced by tumor embolism, heart failure, mechanical valvular obstruction, and various constitutional symptoms.
Sex
Approximately 75% of sporadic myxomas occur in females.
Female sex predominance is less pronounced in familial atrial myxomas.
Age
Myxomas have been reported in patients aged 3-83 years.
The mean age for sporadic cases is 56 years. In a retrospective review of 171 patients from India, the mean age of presentation was 37.1 years. Most of these patients were symptomatic; dyspnea was the most common symptom.6
The mean age for familial cases is 25 years.
Clinical
History

Symptoms range from nonspecific and constitutional to sudden cardiac death. In about 20% of cases, myxoma may be asymptomatic and discovered as an incidental finding. Signs and symptoms of mitral stenosis, endocarditis, mitral regurgitation, and collagen vascular disease can simulate those of atrial myxoma. A high index of suspicion aids in diagnosis.

Symptoms of left-sided heart failure
Dyspnea on exertion (75%) that may progress to orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, and pulmonary edema is observed.
Symptoms are caused by obstruction at the mitral valve orifice. Valve damage may result in mitral regurgitation.
Symptoms of right-sided heart failure
Patients experience fatigue and peripheral edema.
Abdominal distension due to ascites is rare; however, it is more common in slowly growing right-sided tumors.
These symptoms are also observed in the later stage of progressive heart failure associated with left atrial myxomas.
Severe dizziness/syncope
This is experienced by approximately 20% of patients.
The most frequent cause in patients with left atrial myxomas is obstruction of the mitral valve.
Symptoms may change as the patient changes positions.
Symptoms related to embolization
Systemic or pulmonary embolization may occur from left- or right-sided tumors.
Left-sided symptoms are produced from the infarction or hemorrhage of viscera.
Embolization to the central nervous system may result in transient ischemic attack, stroke, or seizure. In an analysis of 113 cases of atrial myxoma with neurologic presentation, 83% of patients presented with ischemic stroke, most often in multiple sites (43%). Twelve percent of patients presented with seizures. In a retrospective review of 74 patients with atrial myxoma, 12% had neurologic manifestations.7 Cerebral infarction was present in 89% of the cases and most myxomas (89%) demonstrated a mobile component on transesophageal echocardiography. Other complications include myxoma-induced cerebral aneurysm and myxomatous metastasis that can mimic vasculitis or endocarditis.
Involvement of the retinal arteries may result in vision loss.
Systemic embolization that causes occlusion of any artery, including coronary, aortic, renal, visceral, or peripheral, may result in infarction or ischemia of the corresponding organ.
On the right side, embolization results in pulmonary embolism and infarction.
Multiple, recurrent small emboli may result in pulmonary hypertension and cor pulmonale.
Presence of an intracardiac shunt (atrial septal defect or patent foramen ovale) may result in a paradoxical embolism.
Constitutional symptoms that include fever, weight loss, arthralgias, and Raynaud phenomenon are observed in 50% of patients. These symptoms may be related to overproduction of interleukin-6.
Hemoptysis due to pulmonary edema or infarction is observed in up to 15% of patients.
Chest pain is infrequent. If it occurs, it may be due to coronary embolization.

Physical
Jugular venous pressure may be elevated, and a prominent A wave may be present.
A loud S1 is caused by a delay in mitral valve closure due to the prolapse of the tumor into the mitral valve orifice (mimicking mitral stenosis).
P2 may be delayed. Its intensity may be normal or increased, depending on the presence of pulmonary hypertension.
In many cases, an early diastolic sound, called a tumor plop, is heard. This sound is produced by the impact of the tumor against the endocardial wall or when its excursion is halted.
An S3 or S4 may be audible.
A diastolic atrial rumble may be heard if the tumor is obstructing the mitral valve.
If there is valve damage from the tumor, mitral regurgitation may cause a systolic murmur at the apex.
A right atrial tumor may cause a diastolic rumble or holosystolic murmur due to tricuspid regurgitation.
General examination may reveal fever, cyanosis, digital clubbing, rash, or petechiae.
Patients with familial myxoma may have a variety of features called syndrome myxoma or Carney syndrome8 , as follows:
Myxomas in breast, skin, thyroid gland, or neural tissue
Spotty pigmentation such as lentigines (ie, flat brown discoloration of skin), pigmented nevi, or both
Endocrine hyperactivity such as Cushing syndrome
Multiple cerebral fusiform aneurysms may be seen in patients with Carney syndrome.9
Other described syndromes associated with atrial myxomas include the following:
NAME syndrome features nevi, atrial myxoma, myxoid neurofibroma, and ephelides (ie, freckles [tanned macules found on the skin]).
LAMB syndrome features lentigines, atrial myxoma, and blue nevi.
Causes
Most cases of atrial myxoma are sporadic, and the exact etiology is unknown.
Familial atrial myxomas have an autosomal dominant transmission.
Carney syndrome is genetically heterogenous and is caused by a defect in more than one gene. Abnormalities in the short arm of chromosome 2 (Carney) and chromosome 12 (Ki-ras oncogene) have been described. In a recent case report, a frame shift mutation was found in exon 2 in the causative gene of Carney complex, protein kinase A regulatory subunit 1 alpha (PRKAR1A).

http://emedicine.medscape.com/article/151362-overview

Hypertensive Heart Disease

Introduction
Background

Uncontrolled and prolonged elevation of blood pressure (BP) can lead to a variety of changes in the myocardial structure, coronary vasculature, and conduction system of the heart. These changes in turn can lead to the development of left ventricular hypertrophy (LVH), coronary artery disease, various conduction system diseases, and systolic and diastolic dysfunction of the myocardium, which manifest clinically as angina or myocardial infarction, cardiac arrhythmias (especially atrial fibrillation), and congestive heart failure (CHF). Thus, hypertensive heart disease is a term applied generally to heart diseases, such as LVH, coronary artery disease, cardiac arrhythmias, and CHF, that are caused by direct or indirect effects of elevated BP. Although these diseases generally develop in response to chronically elevated BP, marked and acute elevation of BP can also lead to accentuation of an underlying predisposition to any of the symptoms traditionally associated with chronic hypertension.
Pathophysiology

The pathophysiology of hypertensive heart disease is a complex interplay of various hemodynamic, structural, neuroendocrine, cellular, and molecular factors. On the one hand, these factors play integral roles in the development of hypertension and its complications; on the other hand, elevated BP itself can modulate these factors. Elevated BP leads to adverse changes in cardiac structure and function in 2 ways: directly by increased afterload and indirectly by associated neurohormonal and vascular changes. Elevated 24-hour ambulatory BP and nocturnal BP have been demonstrated to be more closely related to various cardiac pathologies, especially in African Americans. The pathophysiologies of the various cardiac effects of hypertension differ and are described in this section.

Left ventricular hypertrophy

Of patients with hypertension, 15-20% develops LVH. The risk of LVH is increased 2-fold by associated obesity. The prevalence of LVH based on electrocardiogram (ECG) findings, which are not a sensitive marker at the time of diagnosis of hypertension, is variable.1,2 Studies have shown a direct relationship between the level and duration of elevated BP and LVH.

LVH, defined as an increase in the mass of the left ventricle (LV), is caused by the response of myocytes to various stimuli accompanying elevated BP. Myocyte hypertrophy can occur as a compensatory response to increased afterload. Mechanical and neurohormonal stimuli accompanying hypertension can lead to activation of myocardial cell growth, gene expression (of which some occurs primarily in fetal cardiomyocytes), and, thus, to LVH. In addition, activation of the renin-angiotensin system, through the action of angiotensin II on angiotensin I receptors, leads to growth of interstitium and cell matrix components. In summary, the development of LVH is characterized by myocyte hypertrophy and by an imbalance between the myocytes and the interstitium of the myocardial skeletal structure.

Various patterns of LVH have been described, including concentric remodeling, concentric LVH, and eccentric LVH. Concentric LVH is an increase in LV thickness and LV mass with increased LV diastolic pressure and volume, commonly observed in persons with hypertension and which is a marker of poor prognosis in these patients. Compare this with eccentric LVH, in which LV thickness is increased not uniformly but at certain sites, such as the septum. While the development of LVH initially plays a protective role in response to increased wall stress to maintain adequate cardiac output, later it leads to the development of diastolic and, ultimately, systolic myocardial dysfunction.

Left atrial abnormalities

Frequently underappreciated, structural and functional changes of the left atrium (LA) are very common in patients with hypertension. The increased afterload imposed on the LA by the elevated LV end-diastolic pressure secondary to increased BP leads to impairment of the LA and LA appendage function plus increased LA size and thickness. Increased LA size accompanying hypertension in the absence of valvular heart disease or systolic dysfunction usually implies chronicity of hypertension and may correlate with the severity of LV diastolic dysfunction. In addition to these structural changes, these patients are predisposed to atrial fibrillation. Atrial fibrillation, with loss of atrial contribution in the presence of diastolic dysfunction, may precipitate overt heart failure.

Valvular disease

Although valvular disease does not cause hypertensive heart disease, chronic and severe hypertension can cause aortic root dilatation, leading to significant aortic insufficiency. Some degree of hemodynamically insignificant aortic insufficiency is often found in patients with uncontrolled hypertension. An acute rise in BP may accentuate the degree of aortic insufficiency, with return to baseline when BP is better controlled. In addition to causing aortic regurgitation, hypertension is also thought to accelerate the process of aortic sclerosis and cause mitral regurgitation.

Heart failure

Heart failure is a common complication of chronically elevated BP. Hypertension as a cause of CHF is frequently underrecognized, partly because at the time heart failure develops, the dysfunctioning LV is unable to generate the high BP, thus obscuring the etiology of the heart failure. The prevalence of asymptomatic diastolic dysfunction in patients with hypertension and without LVH may be as high as 33%. Chronically elevated afterload and resulting LVH can adversely affect both the active early relaxation phase and late compliance phase of ventricular diastole.

Diastolic dysfunction is common in persons with hypertension. It is often, but not invariably, accompanied by LVH. In addition to elevated afterload, other factors that may contribute to the development of diastolic dysfunction include coexistent coronary artery disease, aging, systolic dysfunction, and structural abnormalities such as fibrosis and LVH. Asymptomatic systolic dysfunction usually follows. Later in the course of disease, the LVH fails to compensate by increasing cardiac output in the face of elevated BP and the left ventricular cavity begins to dilate to maintain cardiac output. As the disease enters the end stage, LV systolic function decreases further. This leads to further increases in activation of the neurohormonal and renin-angiotensin systems, leading to increases in salt and water retention and increased peripheral vasoconstriction, eventually overwhelming the already compromised LV and progressing to the stage of symptomatic systolic dysfunction.

Apoptosis, or programmed cell death, stimulated by myocyte hypertrophy and the imbalance between its stimulants and inhibitors, is considered to play an important part in the transition from compensated to decompensated stage. The patient may become symptomatic during the asymptomatic stages of the LV systolic or diastolic dysfunction, owing to changes in afterload conditions or to the presence of other insults to the myocardium (eg, ischemia, infarction). A sudden increase in BP can lead to acute pulmonary edema without necessarily changing the LV ejection fraction.3 Generally, development of asymptomatic or symptomatic LV dilatation or dysfunction heralds rapid deterioration in clinical status and markedly increased risk of death. In addition to LV dysfunction, right ventricular thickening and diastolic dysfunction also develop as results of septal thickening and LV dysfunction.

Myocardial ischemia

Patients with angina have a high prevalence of hypertension. Hypertension is an established risk factor for the development of coronary artery disease, almost doubling the risk. The development of ischemia in patients with hypertension is multifactorial.

Importantly, in patients with hypertension, angina can occur in the absence of epicardial coronary artery disease. The reason is 2-fold. Increased afterload secondary to hypertension leads to an increase in left ventricular wall tension and transmural pressure, compromising coronary blood flow during diastole. In addition, the microvasculature, beyond the epicardial coronary arteries, has been shown to be dysfunctional in patients with hypertension and it may be unable to compensate for increased metabolic and oxygen demand.

The development and progression of arteriosclerosis, the hallmark of coronary artery disease, is exacerbated in arteries subjected to chronically elevated BP. Shear stress associated with hypertension and the resulting endothelial dysfunction causes impairment in the synthesis and release of the potent vasodilator nitric oxide. A decreased nitric oxide level promotes the development and acceleration of arteriosclerosis and plaque formation. Morphologic features of the plaque are identical to those observed in patients without hypertension.

Cardiac arrhythmias

Cardiac arrhythmias commonly observed in patients with hypertension include atrial fibrillation, premature ventricular contractions, and ventricular tachycardia.4

The risk of sudden cardiac death is increased.5 Various mechanisms thought to play a part in the pathogenesis of arrhythmias include altered cellular structure and metabolism, inhomogeneity of the myocardium, poor perfusion, myocardial fibrosis, and fluctuation in afterload. All of these may lead to an increased risk of ventricular tachyarrhythmias.

Atrial fibrillation (paroxysmal, chronic recurrent, or chronic persistent) is observed frequently in patients with hypertension.6 In fact, elevated BP is the most common cause of atrial fibrillation in the Western hemisphere. In one study, nearly 50% of patients with atrial fibrillation had hypertension. Although the exact etiology is not known, left atrial structural abnormalities, associated coronary artery disease, and LVH have been suggested as possible contributing factors. The development of atrial fibrillation can cause decompensation of systolic and, more importantly, diastolic dysfunction, owing to loss of atrial kick, and it also increases the risk of thromboembolic complications, most notably stroke.

Premature ventricular contractions, ventricular arrhythmias, and sudden cardiac death are observed more often in patients with LVH than in those without LVH. The etiology of these arrhythmias is thought to be concomitant coronary artery disease and myocardial fibrosis.


Frequency
United States

The estimated prevalence of hypertension in 2005 was 35.3 million men and 38.3 million women.7

The exact frequency of LVH is unknown. The rate of LVH based on ECG findings is 2.9% for men and 1.5% for women. The rate based on echocardiography findings is 15-20%. Of patients without LVH, 33% have evidence of asymptomatic LV diastolic dysfunction.

According to the Framingham Study, hypertension accounts for about a quarter of heart failure cases.7 In the elderly population, as many as 68% of heart failure cases are attributed to hypertension. Community-based studies have demonstrated that hypertension may contribute to the development of heart failure in as many as 50-60% of patients. In patients with hypertension, the risk of heart failure is increased by 2-fold in men and by 3-fold in women.
Mortality/Morbidity

Mortality and morbidity rates from hypertensive heart disease are higher than those of the general population and depend on the specific cardiac pathology.8 Data suggest that increases in mortality and morbidity rates are related more to the pulse pressure than the absolute systolic or diastolic BP levels, but all are important.

Left ventricular hypertrophy: The development of LVH is clearly related to an increase in the cardiovascular mortality rate. The increased risk of cardiovascular events with LVH depends on its type. Concentric LVH poses the greatest risk, as much as 30% over a 10-year period in one study, compared with 15% with eccentric remodeling and 9% without any LVH. The degree of LVH, as assessed by LV mass index (LVMI), is also related to the cardiovascular mortality rate, with a relative risk of 1.73 for men and 2.12 for women for each 50-g/m2 increase in the LVMI over a 4-year period. With LVH, the relative risk of mortality is increased 2-fold in patients with coronary artery disease and 4-fold in patients without coronary artery disease.9

Studies have also shown an increase in the risk of sudden cardiac death in patients with LVH.10 Regression of the LVMI has been demonstrated with several different antihypertensive medications. Although not proven, limited data suggest a reduction in LVH results in a reduction in cardiovascular events.
LV diastolic dysfunction: The prognosis of patients with diastolic dysfunction is poor and is affected by the presence of underlying coronary artery disease. In one study, survival rates at 3 months, 1 year, and 5 years in patients with heart failure due to diastolic dysfunction were 86%, 76%, and 46%, respectively. In another study, the 7-year cardiovascular mortality rate approached 50% in patients with heart failure due to diastolic dysfunction and concomitant coronary artery disease; some also had hypertension. Even in patients with asymptomatic diastolic dysfunction due to hypertension, risk of all cause mortality and cardiovascular events is significantly increased, particularly with an increase in the pulmonary artery wedge pressure. LV diastolic dysfunction, and the heart failure symptoms associated with it, has been shown to improve with treatment aimed at lowering BP and reducing LVH. Whether such treatment has any effect on the mortality rate is not clear.
LV systolic dysfunction: The mortality rate from heart failure due to systolic LV dysfunction is high and depends on the symptoms and New York Heart Association (NYHA) classification. The 5-year mortality rate for patients with heart failure due to systolic dysfunction approaches 20%, while the 2-year mortality rate in patients with NYHA class IV classification is as high as 50%. Mortality rates have decreased with use of ACE inhibitors and beta-blockers, which improve LV function.

Race

In the United States, hypertension is more prevalent in African Americans than in Hispanic and non-Hispanic whites and it is increasing. From 1988-94 to 1999-2002, prevalence in this group increased from 35.8% to 41.4%. (Prevalence in whites is increasing as well but not as dramatically.)11 This difference is attributed to factors other than race because the prevalence of hypertension among African Americans and whites is the same in the United Kingdom and because hypertension is not very common on the African continent. In addition, hypertension is the most common etiology of heart failure in African Americans in the United States.
Sex

Systolic BP increases with age. This increase is more marked in men than in women until women reach menopause, when their BP rises more sharply and reaches levels higher than in men. The prevalence of hypertension is higher in men than in women younger than 55 years but is higher in women older than 55 years. The prevalence of hypertensive heart disease probably follows the same pattern.
Age

BP increases with age, as does the prevalence of hypertensive heart disease, which is affected by the severity of BP increase.
Clinical
History

Symptoms of hypertensive heart disease depend on the duration, severity, and type of disease. In addition, the patient may or may not be aware of the presence of hypertension, which is why hypertension has been named "the silent killer."

Left ventricular hypertrophy: Patients with LVH alone are totally asymptomatic unless the LVH leads to the development of diastolic dysfunction and heart failure.
Heart failure
Although symptomatic diastolic heart failure and systolic heart failure are indistinguishable, the clinical history may be quite revealing. In particular, individuals who abruptly develop severe symptoms of CHF and rapidly return to baseline with medical therapy are more likely to have isolated diastolic dysfunction.
Heart failure symptoms include the following:
Exertional and nonexertional dyspnea (NYHA classes I-IV)
Orthopnea
Paroxysmal nocturnal dyspnea
Fatigue (more common in systolic dysfunction)
Ankle edema and weight gain
Abdominal pain secondary to congested, distended liver
Altered mentation in severe cases
Patients can present with acute pulmonary edema due to sudden decompensation in LV systolic or diastolic dysfunction caused by precipitating factors such as acute rise in BP, dietary indiscretion, or myocardial ischemia. Patients can develop cardiac arrhythmias, especially atrial fibrillation, or they can develop symptoms of heart failure insidiously over time.
Myocardial ischemia
Angina, a frequent complication of hypertensive heart disease, is also indistinguishable from other causes of myocardial ischemia.
Typical symptoms of angina include substernal chest pain lasting less than 15 minutes (versus >20 min in infarction). Pain is often described in the following ways:
Heaviness, pressure, squeezing
Radiating to neck, jaw, upper back, or left arm
Provoked by emotional or physical exertion
Relieved with rest or sublingual nitroglycerin
Patients also may present with atypical symptoms without chest pain, such as exertional dyspnea or excessive fatigue, commonly referred to as an angina equivalent. Female patients, in particular, are more likely to present with an atypical presentation
The patient may present with chronic stable angina or acute coronary syndrome, including myocardial infarction without ST-segment elevation and acute myocardial infarction with ST elevation. Ischemic ECG changes may be found in individuals presenting with hypertensive crisis in whom no significant coronary atherosclerosis is detectable by coronary angiography.
Acute coronary symptoms can be precipitated by a ruptured atherosclerotic plaque or by an acute and severe rise in BP leading to a sudden increase in transmural pressure without a change in stability of the plaque.
Cardiac arrhythmias: These can cause a variety of symptoms, including palpitations, near or total syncope, precipitation of angina, sudden cardiac death, and precipitation of heart failure, especially with atrial fibrillation in diastolic dysfunction.

Physical

Physical signs of hypertensive heart disease depend on the predominant cardiac abnormality and the duration and severity of the hypertensive heart disease. Findings from the physical examination may be entirely normal in the very early stages of the disease, or the patient may have classic signs upon examination. In addition to generalized findings attributable directly to high BP, the physical examination may reveal clues to a potential etiology of hypertension, such as truncal obesity and striae in Cushing syndrome, renal artery bruit in renal artery stenosis, and abdominal mass in polycystic kidney disease.

Pulses: The arterial pulses are normal in the early stages of the disease.
Rhythm
Regular if the patient is in sinus rhythm
Irregularly irregular if the patient is in atrial fibrillation
Rate
Normal in patients in sinus rhythm and not in decompensated heart failure
Tachycardic in patients with heart failure and in patients with atrial fibrillation and a rapid ventricular response
Volume
Normal
Decreased in patients with LV dysfunction
Additional findings - May include radial-femoral delay if the etiology of hypertension is coarctation of the aorta
Blood pressure: Systolic and/or diastolic BP is elevated (>140/90 mm Hg). Mean BP and pulse pressure generally are also elevated. The BP in the upper extremities may be higher than that in the lower extremities in patients with coarctation of the aorta. BP may be normal at the time of evaluation if the patient is on adequate antihypertensive medications or the patient has advanced LV dysfunction and the LV cannot generate enough stroke volume and cardiac output to produce an elevated BP.
Veins: In patients with heart failure, jugular veins may be distended; the predominant waves depend on the severity of the heart failure and any other associated lesions.
Heart
Apex: The apical impulse is sustained and nondisplaced in patients without significant systolic LV dysfunction but with LVH. A presystolic S4 may be felt. Later in the course of disease, when significant systolic LV dysfunction supervenes, the apical impulse is displaced laterally, owing to LV dilatation.
Right ventricle: A lift is present late in the course of heart failure if significant pulmonary hypertension develops.
Heart sounds: S1 is normal in intensity and character. S2 at the right upper sternal border is loud because of an accentuated aortic component (A2); it can have a reverse or paradoxical split due either to increased afterload or to associated left bundle-branch block (LBBB). S4 frequently is palpable and audible, implying the presence of a stiffened, noncompliant ventricle due to chronic pressure overload and LVH. S3 typically is not present initially but is audible in the presence of heart failure, either systolic or diastolic.
Murmurs: An early decrescendo diastolic murmur of aortic insufficiency may be heard along the mid-to-left parasternal area, especially in the presence of acutely elevated BP, frequently disappearing once the BP is better controlled. In addition, an early to mid systolic murmur of aortic sclerosis is commonly audible. A holosystolic murmur of mitral regurgitation may be present in patients with advanced heart failure and dilated mitral annulus.
Lungs: Findings upon chest examination may be normal or may include signs of pulmonary congestion, such as rales, decreased breath sounds, and dullness to percussion due to pleural effusion.
Abdomen: Abdominal examination may reveal a renal artery bruit in patients with hypertension secondary to renal artery stenosis, a pulsatile expansile mass of abdominal aortic aneurysm, and hepatomegaly and ascites due to CHF.
Extremities: Ankle edema may be present in patients with advanced heart failure.
CNS and retina
CNS examination findings are usually unremarkable unless the patient has had previous cerebrovascular accidents with residual deficit.
Examination of the fundi may reveal evidence of hypertensive retinopathy, the severity of which depends on the duration and severity of hypertension, or earlier signs of hypertension such as arteriovenous nicking.
CNS changes may be seen in patients who present with hypertensive emergency.

Causes

The cause of hypertensive heart disease is chronically elevated BP. The causes of elevated BP are diverse. In adults, the following causes should be considered:

Essential hypertension accounts for 90% of cases of hypertension in adults.
Secondary causes of hypertension account for the remaining 10% of cases of chronically elevated BP. These include the following:
Renal causes
Renal artery stenosis
Polycystic kidney disease
Chronic renal failure
Intrarenal Vasculitis
Endocrine causes
Primary hyperaldosteronism
Pheochromocytoma
Cushing syndrome
Congenital adrenal hyperplasia
Hypothyroidism and hyperthyroidism
Acromegaly
Exogenous hormone (eg, corticosteroids, estrogens), sympathomimetics (including cocaine), monoamine oxidase inhibitors (MAOIs), and tyramine-containing foods
Others
Coarctation of aorta
Raised intracranial pressure
Sleep apnea
Isolated systolic hypertension - Can be observed in elderly people, due to increased stiffness of the vasculature
Isolated systolic hypertension - Can be observed in thyrotoxicosis, atrioventricular (AV) fistula, aortic regurgitation, beriberi, Paget disease, and patent ductus arteriosus (ie, due to increase cardiac output secondary to a hyperdynamic circulation)

http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview